BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit tetanus masih sering ditemui di seluruh dunia dan
merupakan penyakit endemik di 90 negara berkembang. Bentuk yang paling sering
pada anak adalah tetanus neonatorum yang menyebabkan kematian sekitar
500.000 bayi tiap tahun karena para ibu tidak diimunisasi. Sedangkan tetanus
pada anak yang lebih besar berhubungan dengan luka, sering karena luka tusuk
akibat objek yang kotor walaupun ada juga kasus tanpa riwayat trauma tetapi
sangat jarang, terutama pada tetanus dengan masa inkubasi yang lama. Spora Clostridium
tetani dapat ditemukan dalam tanah dan pada lingkungan yang hangat,
terutama di daerah rural dan penyakit ini menjadi masalah kesehatan masyarakat
yang utama di negara berkembang.
Angka kejadian dan kematian karena tetanus di Indonesia
masih tinggi. Indonesia merupakan negara ke-5 diantara 10 negara berkembang
yang angka kematian tetanus neonatorumnya tinggi.
TETANUS
A. TINJAUAN
TEORI
2.1 Pengertian
Tetanus
adalah penyakit infeksi yang ditandai oleh kekakuan dan kejang otot, tanpa
disertai gangguan kesadaran, sebagai akibat dari toksin kuman closteridium
tetani .Penyakit ini
mengenai sistem saraf yang disebabkan oleh tetanospasmin yaitu neurotoksin yang
dihasilkan oleh Clostridium tetani.
Clostridium tetani merupakan
organisme obligat anaerob, batang gram positif, bergerak, ukurannya kurang
lebih 0,4 x 6 μm. Mikroorganisme ini menghasilkan
spora pada salah satu ujungnya sehingga membentuk gambaran tongkat penabuh drum
atau raket tenis. Spora Clostridium tetani sangat tahan terhadap
desinfektan kimia, pemanasan dan pengeringan. Kuman ini terdapat dimana-mana,
dalam tanah, debu jalan dan pada kotoran hewan terutama kuda. Spora tumbuh
menjadi bentuk vegetatif dalam suasana anaerobik. Bentuk vegetatif ini
menghasilkan dua jenis toksin, yaitu tetanolisin dan tetanospasmin. Tetanolisin
belum diketahui kepentingannya dalam patogenesis tetanus dan menyebabkan
hemolisis in vitro, sedangkan tetanospasmin bekerja pada ujung saraf otot dan
sistem saraf pusat yang menyebabkan spasme otot dan kejang.
v Derajat Keparahan
Terdapat beberapa sistem
pembagian derajat keparahan yang
dilaporkan.Klasifikasi beratnya tetanus oleh :
1. Derajat I (ringan) : Trismus ringan sampai sedang,
spastisitasgeneralisata, tanpa gangguan pernafasan, tanpaspasme, sedikit atau
tanpa disfagia.
2. Derajat II (sedang) : Trismus sedang, rigiditas yang nampak
jelas,spasme singkat ringan sampai sedang, gangguanpernafasan sedang dengan
frekuensi pernafasanlebihd dari 30 disfagia ringan.
3. Derajat III (berat) : Trismus berat, spastisitas generalsata,
spasmerefleks berkepanjangan, frekuensi pernafasan lebihdari 40, serangan
apnea, disfalgia berat dantakikardia lebih dari 120.
4. Derajat IV (sangat berat) : Derajat tiga dengan gangguan
otonomik berat melibatkan sistem kardiovaskuler. Hipertensi berat dan takikardi terjadi
berselingan dengan hipotensi dan bradikardia, salah satunya dapat menetap.
2.2 Etiologi
Sering kali tempat masuk kuman sukar diketahui tetepi suasana anaerob
seperti pada luka tusuk, luka kotor, adanya benda asing
dalam luka yang menyembuh , otitis media, dan cairies gigi, menunjang berkembang biaknya kuman yang menghasilkan
endotoksin.
2.3 Patofisiologi
Biasanya
penyakit ini terjdi setelah luka tusuk yang dalam misalya luka yang disebabkan
tertusuk paku, pecahan kaca, kaleng atau luka tembak, karena luka tersebut
menimbulkan keadaan anaerob yang ideal. Selain itu luka laserasi yang kotor dan
pada bayi dapat melalui tali pusat luka bakar dan patah tulang yang terbuka
juga akan mengakibatkan keadaan anaerob yang ideal untuk pertumbuhan
clostridium tetani.
Tetanus terjadi
sesudah pemasukan spora yang sedang tumbuh, memperbanyak diri dan mneghasilkan
toksin tetanus pada potensial oksidasi-reduksi rendah (Eh) tempat jejas yang
terinfeksi. Plasmid
membawa gena toksin. Toksin yang dilepas bersama sel bakteri sel vegetative
yang mati dan selanjutnya lisis. Toksin tetanus (dan toksin batolinium) di
gabung oleh ikatan disulfit. Toksin tetanus melekat pada sambungan
neuromuscular dan kemudian diendositosis oleh saraf motoris, sesudah ia mengalami ia mengalami
pengangkutan akson retrograt kesitoplasminmotoneuron-alfa. Toksin keluar
motoneuron dalam medulla spinalis dan selanjutnya masuk interneuron penghambat
spinal. Dimana toksi ini menghalangi pelepasan neurotransmitter . Toksin tetanus dengan demikian
meblokade hambatan normal otot antagonis yang merupakan dasar gerakan yang
disengaja yang di koordinasi, akibatnya otot yang terkena mempertahankan
kontraksi maksimalnya, system saraf otonom juga dibuat tidak stabil pada
tetanus.
Spora
yang masuk dan berada dalam lingkungan anaerobic berubah menjadi bentuk
vegetatif dan berkembang biak sambil menghasilkan toxin. Dalam jaringan yang
anaerobic ini terdapat penurunan potensial oksidasi reduksi jaringan dan
turunnya tekanan oxigen jaringan akibat adanya nanah, nekrosis jaringan, garam
kalsium yang dapat diionisasi. Secara intra axonal toxin disalurkan ke sel
saraf (cel body) yang memakan waktu sesuai dengan panjang axonnya dan aktifitas
serabutnya. Belum terdapat perubahan elektrik dan fungsi sel saraf walaupun
toksin telah terkumpul dalam sel. Dalam sumsum belakang toksin menjalar dari
sel saraf lower motorneuron ke lekuk sinaps dan diteruskan ke ujung presinaps
dari spinal inhibitory neurin. Pada daerah inilah toksin menimbulkan gangguan
pada inhibitory transmitter dan menimbulkan kekakuan. Masa inkubasi 2 hari
sampai 2 bulan dan rata-rata 10 hari.
2.4 Gambaran Klinik.
· Masa tunas biasanya antara 5 – 10 hari.
· Yang pertama terserang adalah otot rahang sehingga rahang kaku dan
sulit dibuka (trismus ). Penderita kemudian mengalami kesulitan menelan, dan
gelisah.
· Selanjutnya muncul kaku kuduk, kaku tangan dan kaki, sakit kepala,
demam menggigil dan kejang umum.
· Otot muka khas kejangnya sehingga muka penderita seperti orang
menyeringai ( risus sardonikus ).
· Kejang otot perut, leher, dan punggung menyebabkan badan melengkung
ke belakang disebut epistotonus.
· Spasme otot spincter kandung kemih dan anus menyebabkan retensi
urine dan konstipasi.
· Kesadaran penderita baik, demikian juga saraf sensorik.
· Selama kejang, otot dada, otot pernafasan, dan glotis ikut kaku sehingga
pernafasan terganggu dan penderita mengalami sianosis sampai asfiksia yang
sering fatal.
2.5 Penatalaksanaan
:
1. Umum :
a. Merawat dan membersihkan luka dgn
sebaik-baiknya
b.
Diet cukup kalori dan protein ( bentuk makanan tergantungpada kemampuan
membuka mulut dan menelan ).
c. Isolasi klien untuk menghindari rangsang
luar seperti suara dan tidakan terhadap
klien lainnya.
d.
Oksigen dan pernapasan buatan dan tracheotomy kalau perlu.
e.
Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit.
2. Obat-obatan :
a.
Anti toksin . Tetanus Imun Glubolin (TIG ) lebih dianjurkan pemakainnya di
bandingkan dengan anti tetanus serum (ATS) dari hewan. Disis initial TIG adalah
5000 U IM ( disis harian 500 – 6000 U ). Kalau tidak adaTIG diberi ATS dgn dosis 5000 U IM dan
5000 U IV.
b.
Anti kejang.
Beberapa
obat yg dapat diberikan :
Obat Dosis Efek samping
- Diasepam 0,5 – 10 mg/kg BB /24 jam
IM - Sopor, koma
-
Meprobamat 300 – 400 mg/4 jam
IM - Tidak ada
-
Klorpromasin 25 – 75 mg /4 jam
IM - Hipotensi
-
Fenobarbital 50 – 100 mg / 4 jam IM - Depresi nafas
2.6 Pemeriksaan Penunjang
Tergantung sarana yang tersedia dimana pasien dirawat,
pemeriksaannya meliputi :
1. Darah
Glukosa Darah : Hipoglikemia merupakan predisposisi kejang (N < 200 mq/dl)
BUN : Peningkatan BUN mempunyai
potensi kejang dan merupakan indikasi nepro toksik akibat dari pemberian obat.
Elektrolit : K, Na
Ketidakseimbangan elektrolit merupakan predisposisi
kejang
Kalium ( N 3,80 – 5,00 meq/dl )
Natrium ( N 135 – 144 meq/dl )
2. Skull Ray : Untuk mengidentifikasi adanya
proses desak ruang dan adanya lesi
3. EEG : Teknik untuk menekan aktivitas listrik otak melalui
tengkorak yang utuh untuk mengetahui fokus aktivitas kejang, hasil
biasanya normal.
2.7 Prognosis :
Prognosis tetanus ditentukan salah
satunya adalah dengan penatalaksanaan yang tepat dan dilakukan secara intensif.
Penyakit tetanus pada neonatus mempunyai case fatality rate yang tinggi
(70-90%) sehingga bila tetanus dapat didiagnosis secara dini dan ditangani
dengan baik maka dapat lebih menurunkan angka kematian.
2.8 Komplikasi
1. Spasme otot faring
2.Asfiksia
3.Atelektasis
4.Fraktur kompresi
5. Jalan
nafas : Aspirasi, Laringuspasme/obstruksi,
Obstruksi berkaitan dengan sedatif.
6.Respirasi : Apnea, Hipoksia ,Gagal nafas tipe 1 (atelektasis,
aspirasi,pneumonia), Gagal nafas tipe 2 ( spasme laringeal,spasme trunkal
berkepanjangan, sedasi berlebihan) ARDSK,
komplikasi bantuan ventilasi berkepanjangan (seperti pneumonia), komplikasi
traneotomi (seperti stenosistrachea)
7. Kardiovaskuler: Takikardia, hipertensi, iskemiaHipotensi,
bradikardia Takiaritma, bradiaritma, Asistol, gagal jantung.
8. Ginjal : Gagal ginjal curah tinggi, gagal ginjal
oliguria,.
9.Gastrointestinal : Statis gaster, ileus, pendarahan,
diare
10. Ruptur tendon akibat spasme
PENCEGAHAN
1) Imunisasi aktif toksoid tetanus,
yang diberikan sebagai dapat paad usia 3,4 dan 5 bulan. Booster diberikan 1
tahun kemudian selanjutnya tiap 2-3 tahun.
2) Bila mendapat luka
·
Perawatan luka yang baik : luka tusuk harus di eksplorasi
dan dicuci dengan H2O2.
·
Pemberian ATS 1500 iu secepatnya.
·
Tetanus toksoid sebagai boster bagi yang telah mendapat
imunisasi dasar.
·
Bila luka berta berikan pp selama 2-3 hari (50.000 iu/kg
BB/hari).
B. ASUHAN KEPERWATAN
I.
Pengkajian
1.PENGKAJIAN UMUM
a.
Riwayat penyakit sekarang; adanya luka parah atau luka bakar dan imunisasi yang
tidak adekuat.
b.
Sistem Pernafasan ; dyspneu asfiksia dan sianosis akibat kontaksi otot
pernafasan
c.
Sistem kardio vaskuler; disritmia, takikardia, hipertensi dan perdarahan, suhu
tubuh awal 38-40 C atau febril, terminal 43-44 C
d. Sistem Neurolgis; (awal) irritability, kelemahan, (akhir) konvulsi, kelumpuhan satu atau beberapa saraf otak.
e. Sistem perkemihan; retensi urine (distensi kandung kencing dan urine out put tidak ada/oliguria)
f.
Sistem pencernaan; konstipasi
akibat tidak adanya pergerakan usus.
g. Sistem integumen dan muskuloskletal; nyeri kesemutan tempat luka, berkeringan (hiperhidrasi). Pada awalnya didahului trismus, spasme oto muka dengan meningkatnya kontraksi alis mata, risus sardonicus, otot-otot kaku dan kesulitan menelan. Apabila hal ini berlanjut akan terjadi status konvulsi dan kejang umum.
h. Pengkajian
Fungsi Serebral
Status mental : Observasi penampilan, tingkah laku, nilai
gaya bicara, ekspresi wajah dan aktivitas motorik klien.Pada klien tetanus
tahap lanjut biasanya status mental klien mengalami berubahan.
Pengkajian saraf Kranial.Pemeriksaan saraf kranial
meliputi pemeriksaan saraf kranial I- XII.
Saraf I. Biasanya pada klien tetanus tidak ada kelainan
pada fungsi penciuman.
Saraf II. Tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal.
Saraf III, IV, VI. Dengan alasan yang tidak diketahui,
klien tetanus mengeluh mengalami fotofobia atau sensitif yang berlebihan
terhadap cahaya.Respon kejang umum akibat stimulus merangsang cahaya perlu
diperhatikan perawat guna memberikan intervensi untuk menurunkan stimulasi
cahaya tersebut.
Saraf V. Reflek maseter meningkatkan.Mulut condong
kedepan seperti mulut ikan ( ini adalah gejala khas dari tetanus).
Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah
simetris.
Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan
tuli persepsi.
Saraf IX dan X. Kemampuan menelan kurang baik, kesulitan
membuka mulut (trismus).
Saraf XI. Didapatkan kaku kuduk, ketegangan otot rahang
dan leher ( mendadak).
Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada defiasi pada satu
sisi dan tidak ada fasikulasi, indra pengecapan.
2. Setelah
dianalisa dari data yang ada maka timbul beberapa masalah keperawtan atau
masalah kolaboratif.
a.
Kebersihan jalan
nafas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan sputum pada trakea dan spame
otot pernafasan.
b. Gangguan
pola nafas berhubungan dengan jalan nafas terganggu akibat spasme otot-otot
pernafasan.
c. Peningkatan
suhu tubuh (hipertermia) berhubungan dengan efeks toksin (bakterimia)
d. Pemenuhan
nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan kekakuan otot pengunyah.
II. Rencana Keperawatan
a.
Kebersihan jalan
nafas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan sputum pada trakea dan spame
otot pernafasan, ditandai dengan ronchi, sianosis, dyspneu, batuk tidak efektif
disertai dengan sputum dan atau lendir, hasil pemeriksaan lab, Analisa Gasa
Darah abnormal(Asidosis Respiratorik)
Tujuan : Jalan nafas efektif
Kriteria
:
-
Klien tidak sesak, lendir atau sleam tidak ada
-
Pernafasan 16-18 kali/menit
-
Tidak ada pernafasan cuping hidung
-
Tidak ada tambahan otot pernafasan
-
Hasil pemeriksaan laboratorium darah Analisa Gas Darah dalam batas normal (pH=
7,35-7,45 ; PCO2 = 35-45 mmHg, PO2 = 80-100 mmHg)
Intervensi
dan Rasional
1.
Bebaskan jalan
nafas dengan mengatur posisi kepala ekstensi
R/ Secara anatomi
posisi kepala ekstensi merupakan cara untuk meluruskan rongga pernafasan
sehingga proses respiransi tetap berjalan lancar dengan menyingkirkan pembuntuan
jalan nafas.
2.
Pemeriksaan fisik
dengan cara auskultasi mendengarkan suara nafas (adakah ronchi) tiap 2-4 jam
sekali
R/
Ronchi menunjukkan adanya gangguan pernafasan akibat atas cairan atau sekret yang menutupi sebagian dari saluran
pernafasan sehingga perlu dikeluarkan untuk mengoptimalkan jalan nafas.
3. Bersihkan
mulut dan saluran nafas dari sekret dan lendir dengan melakukan suction
R/ Suction merupakan
tindakan bantuan untuk mengeluarkan sekret, sehingga mempermudah proses
respirasi.
4.
Oksigenasi
R/ Pemberian oksigen
secara adequat dapat mensuplai dan memberikan cadangan oksigen, sehingga
mencegah terjadinya hipoksia.
5.
Observasi
tanda-tanda vital tiap 2 jam
R/ Dyspneu, sianosis
merupakan tanda terjadinya gangguan nafas disertai dengan kerja jantung yang
menurun timbul takikardia dan capilary refill time yang memanjang/lama.
6.
Observasi
timbulnya gagal nafas.
R/
Ketidakmampuan tubuh dalam proses respirasi diperlukan intervensi yang kritis
dengan menggunakan
alat bantu pernafasan (mekanical ventilation).
7.
Kolaborasi
dalam pemberian obat pengencer sekresi(mukolitik)
R/ Obat mukolitik dapat
mengencerkan sekret yang kental sehingga mempermudah pengeluaran dan memcegah
kekentalan.
b.
Gangguan pola nafas
berhubungan dengan jalan nafas terganggu akibat spasme otot-otot pernafasan,
yang ditandai dengan kejang rangsanng, kontraksi otot-otot pernafasan, adanya
lendir dan sekret yang menumpuk.
Tujuan
: Pola nafas teratur dan normal
Kriteria :
-
Hipoksemia teratasi, mengalami perbaikan pemenuhan kebutuahn oksigen
- Tidak sesak, pernafasan
normal 16-18 kali/menit
-Tidak
sianosis
Intervensi
dan rasional.
1. Monitor irama
pernafasan dan respirati rate
R/ Indikasi
adanya penyimpangan atau kelaianan dari pernafasan dapat dilihat dari frekuensi, jenis
pernafasan,kemampuan dan irama nafas.
2.
Atur posisi luruskan
jalan nafas.
R/
Jalan nafas yang longgar dan tidak ada sumbatan proses respirasi dapat berjalan
dengan lancar.
3.
Observasi tanda dan
gejala sianosis
R/
Sianosis merupakan salah satu tanda manifestasi ketidakadekuatan suply O2 pada
jaringan tubuh perifer .
4.
Oksigenasi
R/
Pemberian oksigen secara adequat dapat mensuplai dan memberikan cadangan
oksigen, sehingga mencegah terjadinya hipoksia.
5.
Observasi tanda-tanda
vital tiap 2 jam
R/
Dyspneu, sianosis merupakan tanda terjadinya gangguan nafas disertai dengan
kerja jantung yang menurun timbul takikardia dan capilary refill time yang
memanjang/lama.
6.
Observasi timbulnya
gagal nafas.
R/
Ketidakmampuan tubuh dalam proses respirasi diperlukan intervensi yang kritis dengan
menggunakan alat bantu pernafasan (mekanical ventilation).
7.
Kolaborasi dalam
pemeriksaan analisa gas darah.
R/ Kompensasi tubuh terhadap gangguan proses
difusi dan perfusi jaringan.
c. Peningkatan suhu tubuh (hipertermia) berhubungan dengan
efeks toksin (bakterimia) yang ditandai dengan suhu tubuh 38-40 oC,
hiperhidrasi, sel darah putih lebih dari 10.000 /mm3.
Tujuan Suhu tubuh normal
Kriteria : 36-37oC, hasil lab sel darah putih (leukosit)
antara 5.000-10.000/mm3
Intervensi
dan rasional.
1.
Atur suhu
lingkungan yang nyaman
R/ Iklim lingkungan
dapat mempengaruhi kondisi dan suhu tubuh individu sebagai suatu proses
adaptasi melalui proses evaporasi dan konveksi.
2.
Pantau suhu tubuh tiap 2 jam.
R/
Identifikasi perkembangan gejala-gejala ke arah syok exhaution.
3 . Berikan
hidrasi atau minum yang
cukup .
R/
Cairan-cairan membantu menyegarkan badan dan merupakan kompresi badan dari
dalam.
4.
Lakukan tindakan teknik
aseptik dan antiseptik pada perawatan luka.
R/ Perawatan lukan
mengeleminasi kemungkinan toksin yang masih berada disekitar luka.
5.
Berikan kompres dingin
bila tidak terjadi ekternal rangsangan kejang.
R/ Kompres dingin
merupakan salah satu cara untuk menurunkan suhu tubuh dengan cara proses
konduksi.
6.
Laksanakan program
pengobatan antibiotik dan antipieretik.
R/ Obat-obat
antibakterial dapat mempunyai spektrum lluas untuk mengobati bakteeerria gram
positif atau bakteria gram negatif. Antipieretik bekerja sebagai proses
termoregulasi untuk mengantisipasi panas.
7.
Kolaboratif dalam
pemeriksaan lab leukosit.
R/ Hasil
pemeriksaan leukosit yang meningkat lebih dari 10.000 /mm3 mengindikasikan
adanya infeksi dan atau untuk mengikuti perkembangan pengobatan yang
diprogramkan.
d. Pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan
dengan kekakuan otot pengunyah yang ditandai dengan intake kurang, makan dan
minuman yang masuk lewat mulut kembali lagi dapat melalui hidung dan berat
badan menurun ddiserta hasil pemeriksaan protein atau albumin kurang dari 3,5
mg%.
Tujuan kebutuhan nutrisi terpenuhi.
Kriteria :
- BB optimal
- Intake adekuat
- Hasil pemeriksaan albumin 3,5-5 mg %
Intervensi dan rasional
1.
Jelaskan faktor
yang mempengaruhi kesulitan dalam makan dan pentingnya makanan bagi tubuh
R/ Dampak dari tetanus adalah
adanya kekakuan dari otot pengunyah sehingga klien mengalami kesulitan menelan
dan kadang timbul refflek balik atau kesedak. Dengan
tingkat pengetahuan yang adequat diharapkan klien dapat berpartsipatif dan
kooperatif dalam program diit.
2.
Kolaboratif :
a.
Pemberian diit TKTP
cair, lunak atau bubur kasar.
R/ Diit yang diberikan sesuai
dengan keadaan klien dari tingkat membuka mulut dan proses mengunyah.
b. Pemberian carian per IV line
R/ Pemberian cairan perinfus
diberikan pada klien dengan ketidakmampuan mengunyak atau tidak bisa makan lewat
mulut sehingga kebutuhan nutrisi terpenuhi.
c.
Pemasangan NGT bila
perlu
R/
NGT dapat berfungsi sebagai masuknya makanan juga untuk memberikan obat.
DAFTAR
PUSTAKA
Brunner
& Suddarth. 2002. Buku Ajar
Keperawatan Medikal Bedah.Jakarta
:EGC
Doengoes,
ME .2000 Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk Perencanaan
dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, Edisi 2,
Jakarta : EGC.
Lynda Juall C, 2003. Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan, Penerjemah Monica Ester,
EGC, Jakarta
Smeltzer,
Suzane C.2002 . Buku
Ajar Keperawatan Medikal Bedah,edisi
8 vol 3.Jakarta :EGC
http://firwanintianur93.blogspot.com/2013/05/laporan-pendahuluan-tetanus.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar