WELCOME

WELCOME TO MY BLOG

Senin, 20 Mei 2013

LAPORAN PENDAHULUAN TETANUS


BAB I

PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
       Penyakit tetanus masih sering ditemui di seluruh dunia dan merupakan penyakit endemik di 90 negara berkembang. Bentuk yang paling sering pada anak adalah tetanus neonatorum yang menyebabkan kematian sekitar 500.000 bayi tiap tahun karena para ibu tidak diimunisasi. Sedangkan tetanus pada anak yang lebih besar berhubungan dengan luka, sering karena luka tusuk akibat objek yang kotor walaupun ada juga kasus tanpa riwayat trauma tetapi sangat jarang, terutama pada tetanus dengan masa inkubasi yang lama. Spora Clostridium tetani dapat ditemukan dalam tanah dan pada lingkungan yang hangat, terutama di daerah rural dan penyakit ini menjadi masalah kesehatan masyarakat yang utama di negara berkembang.
       Angka kejadian dan kematian karena tetanus di Indonesia masih tinggi. Indonesia merupakan negara ke-5 diantara 10 negara berkembang yang angka kematian tetanus neonatorumnya tinggi.


TETANUS
A. TINJAUAN TEORI       
2.1  Pengertian
       Tetanus adalah penyakit infeksi yang ditandai oleh kekakuan dan kejang otot, tanpa disertai gangguan kesadaran, sebagai akibat dari toksin kuman closteridium tetani .Penyakit ini mengenai sistem saraf yang disebabkan oleh tetanospasmin yaitu neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani.
       Clostridium tetani merupakan organisme obligat anaerob, batang gram positif, bergerak, ukurannya kurang lebih 0,4 x 6 μm. Mikroorganisme ini menghasilkan spora pada salah satu ujungnya sehingga membentuk gambaran tongkat penabuh drum atau raket tenis. Spora Clostridium tetani sangat tahan terhadap desinfektan kimia, pemanasan dan pengeringan. Kuman ini terdapat dimana-mana, dalam tanah, debu jalan dan pada kotoran hewan terutama kuda. Spora tumbuh menjadi bentuk vegetatif dalam suasana anaerobik. Bentuk vegetatif ini menghasilkan dua jenis toksin, yaitu tetanolisin dan tetanospasmin. Tetanolisin belum diketahui kepentingannya dalam patogenesis tetanus dan menyebabkan hemolisis in vitro, sedangkan tetanospasmin bekerja pada ujung saraf otot dan sistem saraf pusat yang menyebabkan spasme otot dan kejang.
v Derajat Keparahan 
Terdapat beberapa sistem pembagian derajat keparahan  yang dilaporkan.Klasifikasi beratnya tetanus oleh :
1. Derajat I (ringan) : Trismus ringan sampai sedang, spastisitasgeneralisata, tanpa gangguan pernafasan, tanpaspasme, sedikit atau tanpa disfagia.
2. Derajat II (sedang) : Trismus sedang, rigiditas yang nampak jelas,spasme singkat ringan sampai sedang, gangguanpernafasan sedang dengan frekuensi pernafasanlebihd dari 30 disfagia ringan.
3. Derajat III (berat) : Trismus berat, spastisitas generalsata, spasmerefleks berkepanjangan, frekuensi pernafasan lebihdari 40, serangan apnea, disfalgia berat dantakikardia lebih dari 120.
4. Derajat IV (sangat berat) : Derajat tiga dengan gangguan otonomik berat melibatkan sistem kardiovaskuler. Hipertensi berat dan takikardi terjadi berselingan dengan hipotensi dan bradikardia, salah satunya dapat menetap.

2.2 Etiologi
Sering kali tempat masuk kuman sukar diketahui tetepi suasana anaerob seperti pada luka tusuk, luka kotor, adanya benda asing dalam luka yang menyembuh , otitis media, dan cairies gigi, menunjang  berkembang biaknya kuman yang menghasilkan endotoksin.

2.3 Patofisiologi
       Biasanya penyakit ini terjdi setelah luka tusuk yang dalam misalya luka yang disebabkan tertusuk paku, pecahan kaca, kaleng atau luka tembak, karena luka tersebut menimbulkan keadaan anaerob yang ideal. Selain itu luka laserasi yang kotor dan pada bayi dapat melalui tali pusat luka bakar dan patah tulang yang terbuka juga akan mengakibatkan keadaan anaerob yang ideal untuk pertumbuhan clostridium tetani.
Tetanus terjadi sesudah pemasukan spora yang sedang tumbuh, memperbanyak diri dan mneghasilkan toksin tetanus pada potensial oksidasi-reduksi rendah (Eh) tempat jejas yang terinfeksi. Plasmid membawa gena toksin. Toksin yang dilepas bersama sel bakteri sel vegetative yang mati dan selanjutnya lisis. Toksin tetanus (dan toksin batolinium) di gabung oleh ikatan disulfit. Toksin tetanus melekat pada sambungan neuromuscular dan kemudian diendositosis oleh saraf motoris, sesudah ia mengalami ia mengalami pengangkutan akson retrograt kesitoplasminmotoneuron-alfa. Toksin keluar motoneuron dalam medulla spinalis dan selanjutnya masuk interneuron penghambat spinal. Dimana toksi ini menghalangi pelepasan neurotransmitter . Toksin tetanus dengan demikian meblokade hambatan normal otot antagonis yang merupakan dasar gerakan yang disengaja yang di koordinasi, akibatnya otot yang terkena mempertahankan kontraksi maksimalnya, system saraf otonom juga dibuat tidak stabil pada tetanus.
       Spora yang masuk dan berada dalam lingkungan anaerobic berubah menjadi bentuk vegetatif dan berkembang biak sambil menghasilkan toxin. Dalam jaringan yang anaerobic ini terdapat penurunan potensial oksidasi reduksi jaringan dan turunnya tekanan oxigen jaringan akibat adanya nanah, nekrosis jaringan, garam kalsium yang dapat diionisasi. Secara intra axonal toxin disalurkan ke sel saraf (cel body) yang memakan waktu sesuai dengan panjang axonnya dan aktifitas serabutnya. Belum terdapat perubahan elektrik dan fungsi sel saraf walaupun toksin telah terkumpul dalam sel. Dalam sumsum belakang toksin menjalar dari sel saraf lower motorneuron ke lekuk sinaps dan diteruskan ke ujung presinaps dari spinal inhibitory neurin. Pada daerah inilah toksin menimbulkan gangguan pada inhibitory transmitter dan menimbulkan kekakuan. Masa inkubasi 2 hari sampai 2 bulan dan rata-rata 10 hari.


2.4 Gambaran Klinik.
· Masa tunas biasanya antara 5 – 10 hari.
· Yang pertama terserang adalah otot rahang sehingga rahang kaku dan sulit dibuka (trismus ). Penderita kemudian mengalami kesulitan menelan, dan gelisah.
· Selanjutnya muncul kaku kuduk, kaku tangan dan kaki, sakit kepala, demam menggigil dan kejang umum.
· Otot muka khas kejangnya sehingga muka penderita seperti orang menyeringai ( risus sardonikus ).
· Kejang otot perut, leher, dan punggung menyebabkan badan melengkung ke belakang disebut epistotonus.
· Spasme otot spincter kandung kemih dan anus menyebabkan retensi urine dan konstipasi.
· Kesadaran penderita baik, demikian juga saraf sensorik.
· Selama kejang, otot dada, otot pernafasan, dan glotis ikut kaku sehingga pernafasan terganggu dan penderita mengalami sianosis sampai asfiksia yang sering fatal.

2.5 Penatalaksanaan :
1. Umum :
    a. Merawat dan membersihkan luka dgn sebaik-baiknya
    b. Diet cukup kalori dan protein ( bentuk makanan tergantungpada kemampuan
        membuka mulut dan menelan ).
    c. Isolasi klien untuk menghindari rangsang luar seperti suara dan tidakan  terhadap
        klien lainnya.
       d. Oksigen dan pernapasan buatan dan tracheotomy kalau perlu.
       e. Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit.
2. Obat-obatan :
       a. Anti toksin . Tetanus Imun Glubolin (TIG ) lebih dianjurkan pemakainnya di bandingkan dengan anti tetanus serum (ATS) dari hewan. Disis initial TIG  adalah 5000 U IM ( disis harian 500 – 6000 U ). Kalau tidak adaTIG diberi ATS dgn dosis 5000 U IM dan 5000 U IV.
       b. Anti kejang.
       Beberapa obat yg dapat diberikan :
              Obat                                  Dosis                                   Efek samping
     - Diasepam               0,5 – 10 mg/kg BB /24 jam IM       - Sopor, koma
     - Meprobamat           300 – 400 mg/4 jam IM                  - Tidak ada
     - Klorpromasin         25 – 75 mg /4 jam IM                      -  Hipotensi
- Fenobarbital          50 – 100 mg / 4 jam IM                   -  Depresi nafas       

2.6  Pemeriksaan Penunjang
       Tergantung sarana yang tersedia dimana pasien dirawat, pemeriksaannya meliputi :
1.    Darah
Glukosa Darah         :   Hipoglikemia merupakan predisposisi kejang  (N < 200 mq/dl)
BUN                        : Peningkatan BUN mempunyai potensi kejang dan merupakan indikasi nepro toksik akibat dari pemberian obat.
Elektrolit                  :    K, Na
Ketidakseimbangan elektrolit merupakan predisposisi kejang
Kalium ( N 3,80 – 5,00 meq/dl )
Natrium ( N 135 – 144 meq/dl )
2.    Skull Ray            :    Untuk mengidentifikasi adanya proses desak ruang dan adanya lesi
3.    EEG                    :   Teknik untuk menekan aktivitas listrik otak melalui tengkorak yang utuh untuk mengetahui fokus aktivitas kejang, hasil biasanya normal.

2.7 Prognosis :
Prognosis tetanus ditentukan salah satunya adalah dengan penatalaksanaan yang tepat dan dilakukan secara intensif. Penyakit tetanus pada neonatus mempunyai case fatality rate yang tinggi (70-90%) sehingga bila tetanus dapat didiagnosis secara dini dan ditangani dengan baik maka dapat lebih menurunkan angka kematian.


2.8 Komplikasi
1. Spasme otot faring
2.Asfiksia
3.Atelektasis
4.Fraktur kompresi
5. Jalan nafas  : Aspirasi, Laringuspasme/obstruksi, Obstruksi berkaitan dengan sedatif.
6.Respirasi : Apnea, Hipoksia ,Gagal nafas tipe 1 (atelektasis, aspirasi,pneumonia), Gagal nafas tipe 2 ( spasme laringeal,spasme trunkal berkepanjangan, sedasi berlebihan) ARDSK, komplikasi bantuan ventilasi berkepanjangan (seperti pneumonia), komplikasi traneotomi (seperti stenosistrachea)
7. Kardiovaskuler: Takikardia, hipertensi, iskemiaHipotensi, bradikardia Takiaritma, bradiaritma, Asistol, gagal jantung.
8. Ginjal : Gagal ginjal curah tinggi, gagal ginjal oliguria,.
9.Gastrointestinal : Statis gaster, ileus, pendarahan, diare
10. Ruptur tendon akibat spasme

PENCEGAHAN
1)      Imunisasi aktif toksoid tetanus, yang diberikan sebagai dapat paad usia 3,4 dan 5 bulan. Booster diberikan 1 tahun kemudian selanjutnya tiap 2-3 tahun.
2)      Bila mendapat luka
·         Perawatan luka yang baik : luka tusuk harus di eksplorasi dan dicuci dengan H2O2.
·         Pemberian ATS 1500 iu secepatnya.
·         Tetanus toksoid sebagai boster bagi yang telah mendapat imunisasi dasar.
·         Bila luka berta berikan pp selama 2-3 hari (50.000 iu/kg BB/hari).


B. ASUHAN KEPERWATAN
I. Pengkajian
1.PENGKAJIAN UMUM
a. Riwayat penyakit sekarang; adanya luka parah atau luka bakar dan imunisasi yang tidak adekuat.
b. Sistem Pernafasan ; dyspneu asfiksia dan sianosis akibat kontaksi otot pernafasan

c. Sistem kardio vaskuler; disritmia, takikardia, hipertensi dan perdarahan, suhu tubuh awal 38-40 C atau febril, terminal 43-44 C

d. Sistem Neurolgis; (awal) irritability, kelemahan, (akhir) konvulsi, kelumpuhan satu atau beberapa saraf otak.

e. Sistem perkemihan; retensi urine (distensi kandung kencing dan urine out put tidak ada/oliguria)

f. Sistem pencernaan; konstipasi akibat tidak adanya pergerakan usus.

g. Sistem integumen dan muskuloskletal; nyeri kesemutan tempat luka, berkeringan (hiperhidrasi). Pada awalnya didahului trismus, spasme oto muka dengan meningkatnya kontraksi alis mata, risus sardonicus, otot-otot kaku dan kesulitan menelan. Apabila hal ini berlanjut akan terjadi status konvulsi dan kejang umum.


h.   Pengkajian Fungsi Serebral
Status mental : Observasi penampilan, tingkah laku, nilai gaya bicara, ekspresi wajah dan aktivitas motorik klien.Pada klien tetanus tahap lanjut biasanya status mental klien mengalami berubahan.
Pengkajian saraf Kranial.Pemeriksaan saraf kranial meliputi pemeriksaan saraf kranial I- XII.
Saraf I. Biasanya pada klien tetanus tidak ada kelainan pada fungsi penciuman.
Saraf II. Tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal.
Saraf III, IV, VI. Dengan alasan yang tidak diketahui, klien tetanus mengeluh mengalami fotofobia atau sensitif yang berlebihan terhadap cahaya.Respon kejang umum akibat stimulus merangsang cahaya perlu diperhatikan perawat guna memberikan intervensi untuk menurunkan stimulasi cahaya tersebut.
Saraf V. Reflek maseter meningkatkan.Mulut condong kedepan seperti mulut ikan ( ini adalah gejala khas dari tetanus).
Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah simetris.
Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi.
Saraf IX dan X. Kemampuan menelan kurang baik, kesulitan membuka mulut (trismus).
Saraf XI. Didapatkan kaku kuduk, ketegangan otot rahang dan leher ( mendadak).
Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada defiasi pada satu sisi dan tidak ada fasikulasi, indra pengecapan.
2. Setelah dianalisa dari data yang ada maka timbul beberapa masalah keperawtan atau masalah kolaboratif.
a.    Kebersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan sputum pada trakea dan spame otot pernafasan.
b. Gangguan pola nafas berhubungan dengan jalan nafas terganggu akibat spasme otot-otot pernafasan.
c. Peningkatan suhu tubuh (hipertermia) berhubungan dengan efeks toksin (bakterimia)

d. Pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan kekakuan otot pengunyah.

II. Rencana Keperawatan
a.    Kebersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan sputum pada trakea dan spame otot pernafasan, ditandai dengan ronchi, sianosis, dyspneu, batuk tidak efektif disertai dengan sputum dan atau lendir, hasil pemeriksaan lab, Analisa Gasa Darah abnormal(Asidosis Respiratorik)
Tujuan : Jalan nafas efektif
Kriteria :
- Klien tidak sesak, lendir atau sleam tidak ada
- Pernafasan 16-18 kali/menit
- Tidak ada pernafasan cuping hidung
- Tidak ada tambahan otot pernafasan
- Hasil pemeriksaan laboratorium darah Analisa Gas Darah dalam batas normal (pH= 7,35-7,45 ; PCO2 = 35-45 mmHg, PO2 = 80-100 mmHg)
Intervensi dan Rasional
1.    Bebaskan jalan nafas dengan mengatur posisi kepala ekstensi
R/ Secara anatomi posisi kepala ekstensi merupakan cara untuk meluruskan rongga pernafasan sehingga proses respiransi tetap berjalan lancar dengan menyingkirkan pembuntuan jalan nafas.
2.    Pemeriksaan fisik dengan cara auskultasi mendengarkan suara nafas (adakah ronchi) tiap 2-4 jam sekali
R/ Ronchi menunjukkan adanya gangguan pernafasan akibat atas cairan atau sekret   yang menutupi sebagian dari saluran pernafasan sehingga perlu dikeluarkan untuk mengoptimalkan jalan nafas.
3.    Bersihkan mulut dan saluran nafas dari sekret dan lendir dengan melakukan suction
R/ Suction merupakan tindakan bantuan untuk mengeluarkan sekret, sehingga mempermudah proses respirasi.
     4.  Oksigenasi
R/ Pemberian oksigen secara adequat dapat mensuplai dan memberikan cadangan oksigen, sehingga mencegah terjadinya hipoksia.
     5.   Observasi tanda-tanda vital tiap 2 jam
R/ Dyspneu, sianosis merupakan tanda terjadinya gangguan nafas disertai dengan kerja jantung yang menurun timbul takikardia dan capilary refill time yang memanjang/lama.
6.   Observasi timbulnya gagal nafas.
     R/ Ketidakmampuan tubuh dalam proses respirasi diperlukan intervensi yang kritis dengan   menggunakan alat bantu pernafasan (mekanical ventilation).
     7.   Kolaborasi dalam pemberian obat pengencer sekresi(mukolitik)
R/ Obat mukolitik dapat mengencerkan sekret yang kental sehingga mempermudah pengeluaran dan memcegah kekentalan.

b.    Gangguan pola nafas berhubungan dengan jalan nafas terganggu akibat spasme otot-otot pernafasan, yang ditandai dengan kejang rangsanng, kontraksi otot-otot pernafasan, adanya lendir dan sekret yang menumpuk.
Tujuan : Pola nafas teratur dan normal
Kriteria :
- Hipoksemia teratasi, mengalami perbaikan pemenuhan kebutuahn oksigen
- Tidak sesak, pernafasan normal 16-18 kali/menit
-Tidak sianosis
Intervensi dan rasional.
1.          Monitor irama pernafasan dan respirati rate
       R/ Indikasi adanya penyimpangan atau kelaianan dari pernafasan dapat dilihat dari frekuensi, jenis pernafasan,kemampuan dan irama nafas.
2.        Atur posisi luruskan jalan nafas.
 R/ Jalan nafas yang longgar dan tidak ada sumbatan proses respirasi dapat berjalan dengan lancar.
3.        Observasi tanda dan gejala sianosis
R/ Sianosis merupakan salah satu tanda manifestasi ketidakadekuatan suply O2 pada jaringan tubuh perifer .
4.        Oksigenasi
R/ Pemberian oksigen secara adequat dapat mensuplai dan memberikan cadangan oksigen, sehingga mencegah terjadinya hipoksia.
5.        Observasi tanda-tanda vital tiap 2 jam
R/ Dyspneu, sianosis merupakan tanda terjadinya gangguan nafas disertai dengan kerja jantung yang menurun timbul takikardia dan capilary refill time yang memanjang/lama.
6.        Observasi timbulnya gagal nafas.
R/ Ketidakmampuan tubuh dalam proses respirasi diperlukan intervensi yang kritis   dengan menggunakan alat bantu pernafasan (mekanical ventilation). 
7.        Kolaborasi dalam pemeriksaan analisa gas darah.
   R/ Kompensasi tubuh terhadap gangguan proses difusi dan perfusi jaringan.

c. Peningkatan suhu tubuh (hipertermia) berhubungan dengan efeks toksin (bakterimia) yang ditandai dengan suhu tubuh 38-40 oC, hiperhidrasi, sel darah putih lebih dari 10.000 /mm3.

Tujuan Suhu tubuh normal
Kriteria : 36-37oC, hasil lab sel darah putih (leukosit) antara 5.000-10.000/mm3
Intervensi dan rasional.
1.   Atur suhu lingkungan yang nyaman
R/ Iklim lingkungan dapat mempengaruhi kondisi dan suhu tubuh individu sebagai suatu proses adaptasi melalui proses evaporasi dan konveksi.
            2. Pantau suhu tubuh tiap 2 jam.
R/ Identifikasi perkembangan gejala-gejala ke arah syok exhaution.
3 . Berikan hidrasi atau minum yang cukup .
                 R/ Cairan-cairan membantu menyegarkan badan dan merupakan kompresi badan dari dalam.
4.    Lakukan tindakan teknik aseptik dan antiseptik pada perawatan luka.
R/ Perawatan lukan mengeleminasi kemungkinan toksin yang masih berada disekitar luka.
5.    Berikan kompres dingin bila tidak terjadi ekternal rangsangan kejang.
R/ Kompres dingin merupakan salah satu cara untuk menurunkan suhu tubuh dengan cara proses konduksi.
6.    Laksanakan program pengobatan antibiotik dan antipieretik.
R/ Obat-obat antibakterial dapat mempunyai spektrum lluas untuk mengobati bakteeerria gram positif atau bakteria gram negatif. Antipieretik bekerja sebagai proses termoregulasi untuk mengantisipasi panas.
7.    Kolaboratif dalam pemeriksaan lab leukosit.
R/ Hasil pemeriksaan leukosit yang meningkat lebih dari 10.000 /mm3 mengindikasikan adanya infeksi dan atau untuk mengikuti perkembangan pengobatan yang diprogramkan.

d. Pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan kekakuan otot pengunyah yang ditandai dengan intake kurang, makan dan minuman yang masuk lewat mulut kembali lagi dapat melalui hidung dan berat badan menurun ddiserta hasil pemeriksaan protein atau albumin kurang dari 3,5 mg%.

Tujuan kebutuhan nutrisi terpenuhi.
Kriteria :
- BB optimal
- Intake adekuat
- Hasil pemeriksaan albumin 3,5-5 mg %

Intervensi dan rasional
1.    Jelaskan faktor yang mempengaruhi kesulitan dalam makan dan pentingnya makanan bagi tubuh
     R/ Dampak dari tetanus adalah adanya kekakuan dari otot pengunyah sehingga klien mengalami kesulitan menelan dan kadang timbul refflek balik atau kesedak. Dengan tingkat pengetahuan yang adequat diharapkan klien dapat berpartsipatif dan kooperatif dalam program diit.
2.    Kolaboratif :
a.    Pemberian diit TKTP cair, lunak atau bubur kasar.
R/ Diit yang diberikan sesuai dengan keadaan klien dari tingkat membuka mulut dan proses mengunyah.
b. Pemberian carian per IV line
R/ Pemberian cairan perinfus diberikan pada klien dengan ketidakmampuan mengunyak atau tidak bisa makan lewat mulut sehingga kebutuhan nutrisi terpenuhi.
c.    Pemasangan NGT bila perlu
R/ NGT dapat berfungsi sebagai masuknya makanan juga untuk memberikan obat.




            DAFTAR PUSTAKA

    
Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.Jakarta :EGC

Doengoes, ME .2000 Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, Edisi 2, Jakarta : EGC.
Lynda Juall C, 2003. Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan, Penerjemah Monica Ester, EGC, Jakarta
Smeltzer, Suzane C.2002 . Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah,edisi 8 vol 3.Jakarta :EGC
http://firwanintianur93.blogspot.com/2013/05/laporan-pendahuluan-tetanus.html

Tidak ada komentar: