WELCOME

WELCOME TO MY BLOG

Selasa, 09 April 2013

MAKALAH TENTANG ETIKA PELAYANAN PUBLIK


BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
          Isu tentang etika dalam pelayanan publik di Indonesia kurang dibahas secara luas dan  tunta sebagaimana terdapat   di  negara    maju,    meskipun  telah   disadari   bahwa  salah satu  kelemahan dasar dalam pelayanan publik di Indonesia adalah masalah moralitas. Etika sering dilihat sebagai elemen yang kurang berkaitan dengan dunia pelayanan publik. Padahal, dalam literatur tentang pelayanan publik dan administrasi publik, etika merupakan salah satu elemen yang   sangat   menentukan   kepuasan   publik   yang   dilayani   sekaligus   keberhasilan   organisasi pelayanan publik itu sendiri.

         Elemen  ini  harus   diperhatikan     dalam     setiap   fase  pelayanan  publik  mulai dari penyusunan   kebijakan     pelayanan,      desain    struktur    organisasi    pelayanan, sampai pada manajemen pelayanan untuk mencapai tujuan akhir dari pelayanan tersebut. Dalam konteks ini,   pusat   perhatian     ditujukan    kepada     aktor   yang    terlibat   dalam    setiap   fase,   termasuk kepentingan  aktor -aktor    tersebut  –  apakah     para   aktor   telah   benar-benar mengutamakan kepentingan        publik diatas kepentingan-kepentingan yang lain.Misalnya, dengan menggunakan nilai-nilai moral yang berlaku umum seperti nlai kebenaran , kebaikan ,kebebasan, kesetaraan , dan   keadilan,kita   dapat   menilai   apakah   para   aktor  tersebut   jujur   atau   tidak   dalam   penyusunan kebijakan,     adil   atau  tidak   adil  dalam    menempatkan orang    dalam    unit  dan   jabatan    yang tersedia, dan bohong atau tidak dalam melaporkan hasil manajemen pelayanan.
1.2  Gambaran Singkat Isi Makalah     
Dalam Sistem pelayanan kesehatan Sistem pelayanan kesehatan meliputi antara lain sistem pemberian asuhankeperawatan yang diberikan secara terus menerus sejak pertama kali pasien mengalami masalah kesehatan sampai kepada ketika status kesehatan pasien dinyatakan pulih kembali. Proses untuk memberikan pelayanan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu aksesibilitas terhadap pelayanan, kualitas pemberian pelayanan,dan sistem pembayaran yang ditetapkan.Para perawat yang berada pada posisi kepemimpinan memiliki tanggung jawab yangluas dalam arena pelayanan kesehatan. Hal ini karena lingkungan pelayanan kesehatan saat ini memberikan banyak peluang untuk perawat memperoleh status professionalnya dengan secara proaktif berespon terhadap kebutuhan perubahan dan harapan masyarakat.Organisasi kesehatan ditetapkan disetiap tatanan pelayanan dan bertujuan untuk membantu mengorganisasikan berbagai kegiatan yang mengarah pada pencapaian tujuan insititusi dimana struktur organisasinya diterapkan. Fungsi organisasi pelayanan kesehatan ini adalah selain untuk mengakomodasi berbagai kegiatan, namun juga untuk mengorganisasikan para pelaku organisasi didalamnya termasuk tenaga keperawatan agar bekerja secara sinergis mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

         




BAB II
PEMBAHASAN
  2.1  Konsep Etika Pelayanan Publik

         Etika menggambarkan konsep etika dengan beberapa arti, salah satu diantaranya dan biasa digunakan orang adalah kebiasaan, adat atau akhlak dan watak. Istilah etika disebut sebagai (1) ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang   hak   dan   kewajiban   moral;   (2)   kumpulan   asas   atau   nilai   yang   berkenaan   dengan akhlak dan (3) nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.

         Dengan   memperhatikan   beberapa   sumber   diatas, berkesimpulan   bahwa   ada tiga arti penting etika, yaitu etika (1) sebagai nilai-nilai moral dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya, atau disebut dengan “sistim nilai”; (2) sebagai kumpulan asas atau nilai moral yang sering dikenal dengan “kode etik”; dan (3) sebagai ilmu tentang yang baik atau buruk, yang acapkali disebut “filsafat    moral”. 
         Salah satu uraian dari diatas adalah tentang pembedaan atas konsep etika dari konsep etiket. Etika lebih menggambarkan norma tentang perbuatan itu sendiri  
yaitu apakah suatu perbuatan boleh atau tidak boleh dilakukan, misalnya mengambil barang milik   orang   tanpa   ijin   tidak   pernah   diperbolehkan.   Sementara   etiket   menggambarkan   cara suatu perbuatan itu dilakukan manusia, dan berlaku hanya dalam pergaulan atau berinteraksi dengan orang lain, dan cenderung berlaku dalam kalangan tertentu saja, misalnya memberi sesuatu   kepada   orang   lain   dengan   tangan   kiri   merupakan   cara   yang   kurang   sopan   menurut kebudayaan tertentu, tapi tidak ada persoalan bagi kebudayaan lain. Karena itu etiket lebih bersifat   relatif,   dan   cenderung   mengutamakan         simbol   lahiriah,   bila   dibandingkan   dengan etika yang cenderung berlaku universal dan menggambarkan sungguh-sungguh sikap bathin.

         Etika   Pelayanan   Publik.   Dalam   arti   yang   sempit, pelayanan   publik   adalah   suatu tindakan     pemberian      barang    dan   jasa   kepada    masyarakat      oleh   pemerintah     dalam    rangka tanggung jawabnya kepada publik, baik diberikan secara langsung maupun melalui kemitraan dengan      swasta    dan   masyarakat,     berdasarkan      jenis  dan   intensitas    kebutuhan     masyarakat, kemampuan masyarakat     dan   pasar.   Konsep     ini  lebih   menekankan       bagaimana pelayanan publik   berhasil   diberikan   melalui   suatu  delivery   system   yang   sehat. Pelayanan   publik   ini dapat     dilihat    sehari-hari     di   bidang administrasi,keamanan, kesehatan,  pendidikan, perumahan, air  bersih,   telekomunikasi, transportasi, bank.Tujuan pelayanan publik adalah   menyediakan   barang   dan   jasa   yang   terbaik   bagi   masyarakat.   Barang   dan   jasa   yang terbaik     adalah    yang    memenuhi       apa   yang    dijanjikan     atau   apa   yang    dibutuhkan      oleh  masyarakat. Dengan     demikian     pelayanan     publik    yang    terbaik   adalah    yang   memberikan kepuasan terhadap publik, kalau perlu melebihi harapan publik.

         Dalam arti yang luas, konsep pelayanan public (public service) identik dengan public administration   yaitu   berkorban   atas   nama   orang   lain   dalam   mencapai   kepentingan   publik .     Dalam   konteks   ini   pelayanan   publik        lebih   dititik   berat kepada      bagaimana       elemen-elemen        administrasi   publik    seperti  policy     making ,     desain organisasi, dan proses manajemen dimanfaatkan untuk   mensukseskan pemberian pelayanan publik,   dimana   pemerintah   merupakan   pihak provider  yang   diberi   tanggung   jawab.contoh   dari pandangan ini, dimana pelayanan publik benar-benar identik dengan administrasi publik.

         Dalam      dunia    administrasi     publik    atau   pelayanan     publik,    etika diartikan    sebagai filsafat dan profesional standards (kode etik),  atau aturan berperilaku yang benar yang  seharusnya      dipatuhi    oleh   pemberi     pelayanan     publik  atau administrator publik .

         Berdasarkan        konsep    etika   dan   pelayanan     publik    diatas   maka    yang  dimaksudkan dengan etika pelayanan publik adalah suatu praktek administrasi publik dan atau  pemberian pelayanan publik  yang didasarkan atas serangkaian tuntunan perilaku  atau   kode   etik   yang   mengatur   hal-hal   yang   “baik”  yang  harus  dilakukan  atau sebaliknya yang “tidak baik” agar dihindarkan.



2.2  Pentingnya Etika dalam Pelayanan Publik

Sejak   saat   ini   mata   publik   mulai   memberikan   perhatian   khusus   terhadap “permainan   etika”   yang   dilakukan   oleh   para   birokrat   pemerintahan.   Penilaian   keberhasilan seorang      administrator     atau   aparat   pemerintah      tidak   semata    didasarkan     pada    pencapaian kriteria    efisiensi,   ekonomi,     dan   prinsip-prinsip     administrasi     lainnya,    tetapi   juga   kriteria moralitas, khususnya terhadap kontribusinya terhadap public interest atau kepentingan umum.

          Alasan   mendasar   mengapa   pelayanan   publik   harus   diberikan   adalah   adanya public interest atau kepentingan publik yang harus dipenuhi oleh pemerintah karena pemerintahlah yang     memiliki     “tanggung     jawab”     atau  responsibility.  Dalam     memberikan       pelayanan      ini pemerintah diharapkan secara profesional melaksanakannya, dan harus mengambil keputusan politik    secara tepat mengenai siapa  mendapat     apa,   berapa    banyak, dimana,     kapan. Padahal, kenyataan   menunjukan   bahwa   pemerintah   tidak   memiliki   tuntunan   atau   pegangan  kode etik atau moral secara memadai. Asumsi bahwa semua aparat pemerintah adalah pihak yang telah   teruji   pasti  selalu    membela      kepentingan  publik    atau   masyarakatnya, tidak selamanya  benar.   Banyak      kasus    membuktikan  bahwa   kepentingan  pribadi,   keluarga, kelompok,   partai   dan   bahkan   struktur   yang   lebih   tinggi   justru   mendikte   perilaku   seorang birokrat   atau   aparat   pemerintahan.   Birokrat   dalam   hal   ini   tidak   memiliki   “independensi” dalam bertindak etis, atau dengan kata lain, tidak ada “otonomi dalam beretika”.

          Alasan lain lebih berkenaan dengan lingkungan didalam birokrasi yang memberikan pelayanan   itu sendiri. Desakan   untuk   memberi   perhatian   kepada   aspek   kemanusiaan   dalam organisasi     (organizational      humanism) . Dalam     literatur  tentang   aliran  human   relations   dan  human   resources,   telah   dianjurkan   agar   manajer   harus bersikap etis,  yaitu   memperlakukan   manusia    atau   anggota     organisasi    secara    manusiawi.Alasannnya        adalah     bahwa      perhatian     terhadap      manusia (concern   for   people)     dan pengembangannya   sangat   relevan   dengan   upaya   peningkatan   produktivitas,   kepuasan   dan pengembangan kelembagaan.

          Alasan     berikut   berkenaan   dengan       karakteristik    masyarakat     publik    yang   terkadang begitu   variatif   sehingga   membutuhkan   perlakuan   khusus.   Mempekerjakan   pegawai   negeri dengan   menggunakan   prinsip   “kesesuaian   antara   orang   dengan   pekerjaannya”   merupakan prinsip   yang perlu dipertanyakan   secara   etis, karena prinsip   itu   akan   menghasilkan   ketidak adilan, dimana calon yang dipekerjakan hanya berasal dari daerah tertentu yang relatif lebih maju.   Kebijakan  affirmative   action  dalam   hal   ini   merupakan   terobosan   yang   bernada   etika karena akan memberi ruang yang lebih luas bagi kaum minoritas, miskin, tidak berdaya  untuk   menjadi   pegawai   atau   menduduki   posisi   tertentu.   Ini   merupakan   suatu   pilihan   moral  yang diambil oleh seorang birokrat pemerintah berdasarkan prinsip justice – as–   fairness   sesuai   pendapat   John   Rawls   yaitu   bahwa   distribusi   kekayaan,   otoritas, dan kesempatan sosial akan terasa adil bila hasilnya memberikan kompensasi keuntungan kepada setiap    orang,    dan   khususnya      terhadap    anggota     masyarakat     yang    paling    tidak  beruntung. Kebijakan   mengutamakan   “putera   daerah”   merupakan   salah   satu   contoh   yang  populer   saat ini.

          Alasan penting lainnya adalah peluang untuk melakukan tindakan yang bertentangan dengan etika yang berlaku dalam pemberian pelayanan publik sangat besar. Pelayanan publik tidak    sesederhana      sebagaimana       dibayangkan,      atau   dengan     kata  lain   begitu   kompleksitas sifatnya baik berkenaan dengan nilai pemberian pelayanan itu sendiri maupun mengenai cara terbaik    pemberian      pelayanan      publik   itu  sendiri.   Kompleksitas     dan   ketidak menentuan       ini mendorong   pemberi    pelayanan   publik    mengambil   langkah-langkah profesional  yang didasarkan kepada “keleluasaan bertindak” (discretion). Dan keleluasaan inilah yang sering menjerumuskan    pemberi     pelayanan     publik   atau   aparat    pemerintah     untuk    bertindak     tidak sesuai dengan kode etik atau tuntunan perilaku yang ada.

          Dalam pemberian pelayanan publik khususnya di Indonesia, pelanggaran moral dan etika   dapat   diamati   mulai   dari    proses   kebijakan   publik   (pengusulan   program,   proyek,   dan kegiatan      yang    tidak    didasarkan      atas   kenyataan),      desain    organisasi     pelayanan      publik (pengaturan   struktur,   formalisasi,   dispersi   otoritas)   yang   sangat   bias   terhadap   kepentingan tertentu, proses manajemen pelayanan publik yang penuh rekayasa dan kamuflase (mulai dari perencanaan        teknis,   pengelolaan      keuangan,     SDM, informasi.   yang    semuanya     itu  nampak  dari sifat-sifat tidak transparan, tidak responsif, tidak akuntabel, tidak adil. Dan tidak   dapat   disangkal,   semua   pelanggaran   moral   dan   etika   ini   telah   diungkapkan   sebagai salah    satu   penyebab      melemahnya        pemerintahan       kita.  Alasan    utama     yang    menimbulkan tragedi    tersebut    sangat    kompleks,      mulai   dari   kelemahan      aturan    hukum     dan    perundang- undangan   kita,   sikap   mental   manusia,   nilai-nilai   sosial   budaya   yang   kurang   mendukung, sejarah dan   latarbelakang kenegaraan, globalisasi yang   tak   terkendali,   sistim  pemerintahan, kedewasaan        dalam    berpolitik,    dsb.   Bagi    Indonesia,     pembenahan       moralitas     yang    terjadi selama ini masih sebatas lip service tidak menyentuh sungguh-sungguh substansi pemenahan moral     itu   sendiri.   Karena     itu   pembenahan       moral     merupakan       “beban     besar”    di  masa mendatang   dan   apabila   tidak   diperhatikan   secara   serius   maka   proses   “pembusukan”   terus terjadi dan dapat berdampak pada disintegrasi bangsa.

2.3  Klasifikasi Pelayanan Public

Kebijakan kesehatan untuk kota dan komunitas sehat terklasifikasi pada lima area kegiatan yang interdependen sesuai urutan prioritas sebagai berikut :Membangun kebijakan publik sehat di semua sektor dan tingkat.Menciptakan lingkungan yang mendukung sehingga mempermudah pencapaian kondisi sehat.Memperkuat pemberdayaan masyarakat dalam menolong diri sendiri dan dalam memberikan dukungan sosial.Mengembangkan ketrampilan personal agar semua orang bertanggung jawab terhadap kesehatan dirinya sendiri.Mengorientasikan kembali pelayanan kesehatan melalui promosi kesehatan dan pencegahan penyakit.Prinsip kebijakan promosi kesehatan mencakup kebijakan multisektoral, ekologik,tanggung jawab dalam meningkatkan pilihan promosi kesehatan, melibatkan berbagaibidang, berhubungan dengan pelayanan kesehatan dan peran serta masyarakat.

          Di dalam pelayanan publik terdapat empat tingkatan etika. Pertama, etika atau moral pribadi yaitu yang memberikan teguran tentang baik atau buruk, yang sangat tergantung kepada beberapa faktor antara lain pengaruh orang tua, keyakinan agama, budaya, adat istiadat, dan pengalaman masa lalu. Kedua adalah etika profesi, yaitu serangkaian norma atau aturan yang menuntun perilaku kalangan profesi tertentu. Ketiga adalah etika organisasiyaitu   serangkaian   aturan   dan   norma   yang   bersifat   formal   dan   tidak   formal   yang   menuntun perilaku dan tindakan anggota organisasi yang bersangkutan. Dan keempat, etika sosial, yaitu norma-norma         yang   menuntun      perilaku    dan    tindakan    anggota     masyarakat     agar   keutuhan kelompok dan anggota masyarakat selalu terjaga atau terpelihara.

          Adanya etika ini cenderung membingungkan keputusan para aktor pelayanan publik     karena    semua     nilai  etika   dari  keempat      tingkatan    ini  saling   bersaing.    Misalnya, menempatkan orang dalam posisi atau jabatan tertentu sangat tergantung kepada etika yang dianut     pejabat    yang    berkuasa.     Bila   ia  sangat    dipengaruhi      oleh    etika   sosial,   ia  akan mendahului orang yang berasal dari daerahnya sehingga sering menimbulkan kesan. Bila   ia  didominasi      oleh   etika   organisasi,    ia  barangkali     akan    melihat  kebiasaan- kebiasaan      yang    berlaku    dalam    organisasi    seperti   menggunakan    sistim   “senioritas”     yang mengutamakan   mereka   yang   paling   senior   terlebih   dahulu,   atau   mungkin   didominasi   oleh sistim merit yang berarti ia akan mendahulukan orang yang paling berprestasi.

          Dengan demikian, persoalan moral atau etika didalam konteks ini akhirnya tergantung kepada   tingkatan   etika   yang   paling   mendominasi   keputusan   seorang   aktor   kunci   pelayanan publik. Konflik antara nilai-nilai dari tingkatan etika yang berbeda ini sering membingungkan para pembuat keputusan sehingga kadang-kadang mereka menyerahkan keputusan akhirnya kepada pihak lain yang mereka percaya atau segani seperti pejabat yang lebih tinggi, tokoh- tokoh karismatik, “orang pintar”.




2.4  Pelayanan Medis Prima

         Dibidang perumah sakitan pelayanan kepada pasien berdasarkan standar keahlian untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan pasien, sehingga pasien dapat memperoleh kepuasan yang akhirnya dapat meningkatkan kepercayaan kepada rumah sakit. Melalui pelayanan prima rumah sakit diharapkan akan menghasilkan keunggulan kompetentif ( competentif advantage ) melalui pelayanan yang bermutu, efisien, inovatif dan menghasilkan customer responsiveness.Pelayanan kesehatan, memiliki tiga fungsi yang saling berkaitan, saling berpengaruh dan saling bergantungan, yaitu fungsi sosial (fungsi untuk memenuhi harapan dankebutuhan masyarakat pengguna pelayanan kesehatan ), fungsi teknis kesehatan(fungsi untuk memenuhi harapan dan kebutuhan masyarakat pemberi pelayanan kesehatan) dan fungsi ekonomi (fungsi untuk memenuhi harapan dan kebutuhaninstitusi pelayanan kesehatan). Ketiga fungsi tersebut ditanggung jawab oleh tiga pilarutama pelayanan kesehatan yaitu, masyarakat (yang dalam prakteknya dilaksanakan bersama antara pemerintah dan masyarakat), tenaga teknis kesehatan (yangdilaksanakan oleh tenaga profesional kesehatan) dan tenaga administrasi atau manajemen kesehatan (manajemen atau adminstrator kesehatan).


2.5  Implikasi bagi Etika Pelayanan Publik di Indonesia

         Dibutuhkan Kode Etik. Kode etik pelayanan publik di Indonesia masih terbatas pada beberapa profesi seperti ahli hukum dan kedokteran sementara kode etik untuk profesi yang lain   masih   belum   nampak.   Ada   yang   mengatakan   bahwa   kita   tidak   perlu   kode   etik   karena secara umum kita telah memiliki nilai-nilai agama, etika moral Pancasila, bahkan sudah ada sumpah pegawai negeri yang diucapkan   setiap  apel bendera. Pendapat tersebut tidak salah,namun harus diakui bahwa ketiadaan kode etik ini tela memberi peluang bagi para pemberi pelayanan   untuk   mengenyampingkan   kepentingan   publik.   Kehadiran   kode   etik   itu   sendiri lebih berfungsi sebagai alat kontrol langsung bagi perilaku para pegawai atau pejabat dalam bekerja.   Dalam   konteks   ini,   yang   lebih   penting   adalah   bahwa   kode   etik   itu   tidak   hanya sekedar      ada,    tetapi   juga    dinilai   tingkat   implementasinya dalam     kenyataan. Bahkan berdasarkan   penilaian   implementasi   tersebut,  kode   etik   tersebut   kemudian   dikembangkan atau direvisi agar selalu sesuai dengan tuntutan perubahan jaman.

          Kita    mungkin     perlu    belajar   dari   negara    lain   yang    sudah    memiliki   kedewasaan  beretika misalnya,kesadaran   beretika   dalam   pelayanan   publik   telah begitu meningkat sehingga banyak profesi pelayanan publik yang telah memiliki kode etik. Salah satu contoh yang relevan dengan pelayanan publik adalah kode etik yang dimiliki ASPA (American   Society   for   Public   Administration)   yang   telah   direvisi   berulang   kali   dan   terus mendapat   kritikan       serta   penyempurnaan   dari   para   anggotanya.   Nilai-nilai   yang   dijadikan pegangan   perilaku   para   anggotanya   antara   lain   integritas,   kebenaran,   kejujuran,   ketabahan, respek,   menaruh   perhatian,   keramahan,   cepat   tanggap,   mengutamakan   kepentingan   publik diatas    kepentingan      lain,  bekerja   profesional,     pengembangan        profesionalisme,      komunikasi terbuka dan transparansi, kreativitas, dedikasi, kasih sayang, penggunaan keleluasaan untuk kepentinga  publik,   beri   perlindungan      terhadap    informasi     yang   sepatutnya     dirahasiakan, dukungan terhadap sistim merit dan program affirmative action.

         Kedewasaan   dan   Otonomi   Beretika.   Dalam   praktek   pelayanan   publik   saat   ini   di Indonesia,   seharusnya   kita   selalu   memberi   perhatian   terhadap   dilema   diatas.   Atau   dengan kata lain, para pemberi pelayanan publik harus mempelajari norma-norma etika yang bersifat universal,   karena   dapat   digunakan   sebagai   penuntun   tingkah   lakunya.   Akan   tetapi   norma- norma tersebut juga terikat situasi sehingga menerima norma-norma tersebut sebaiknya tidak secara   kaku.   Bertindak   seperti   ini   menunjukan   suatu   kedewasaan   dalam   beretika.   Dialog menuju konsensus dapat membantu memecahkan dilema tersebut.

         Kelemahan   kita   terletak   pada   ketiadaan   atau   terbatasnya   kode   etik.   Demikian   pula kebebasan dalam menguji dan mempertanyakan norma-norma moralitas yang berlaku belum ada, bahkan seringkali kaku terhadap norma-norma moralitas yang sudah ada tanpa melihat perubahan   jaman.   Kita   juga   masih   membiarkan  diri   kita   didikte   oleh   pihak   luar   sehingga belum terjadi otonomi beretika.

         Kadang-kadang, kita juga masih membiarkan  diri   kita   untuk     mendahulukan kepentingan   tertentu   tanpa   memperhatikan   konteks   atau   dimana   kita   bekerja   atau   berada. Mendahulukan orang atau suku sendiri merupakan tindakan tidak terpuji bila itu diterapkan dalam   konteks   organisasi   publik   yang   menghendaki   perlakuan   yang   sama   kepada   semua suku. Mungkin tindakan ini tepat dalam organisasi swasta, tapi tidak tepat dalam organisasi publik.    Oleh    karena    itu,  harus   ada   kedewasaan       untuk    melihat    dimana     kita  berada    dan tingkatan hirarki etika manakah yang paling tepat untuk diterapkan.

         Perlindungan         dan   Insentif    Bagi   Pengadu.      Diantara     kita  semua     ada  pihak    yang sangat peduli dengan nilai-nilai etika atau moral, melakukan pengaduan tentang pelanggaran moral. Mereka adalah pihak yang berani membongkar rahasia dan menguji tindakan-tindakan pelanggaran       moral    dan    etika.Namun upaya  untuk    melakukan hal   ini  kadang-kadang dianggap sebagai upaya tidak terpuji, bahkan sering dikutuk perbuatannya, dan nasibnya bisa menjadi   terancam. Pengalaman ini   cenderung   membuat   mereka takut dan timbul   kebiasaan untuk   tidak   mau   “repot”   atau   tidak   mau   “berurusan”   dengan hukum atau   pengadilan, yang insentifnya  tidak   jelas.   Akibatnya,     peluang dari   pihak-pihak yang berpengaruh  dalam pelayanan   publik   terus   terbuka   untuk   melakukan   tindakan-tindakan  pelanggaran   moral   dan etika. Karena itu, dalam rangka meningkatkan moralitas dalam pelayanan publiki, diperlukan perlindungan terhadap para pengadu, kalau perlu insentif khusus.












BAB III
PENUTUP
                 
3.1  Kesimpulan
Tujuan pelayanan kesehatan adalah tercapainya derajat kesehatan masyarakat yangmemuaskan harapan dan kebutuhan derajat masyarakat (consumer satisfaction),melalui pelayanan yang efektif oleh pemberi pelayanan yang memuaskan harapan dankebutuhan pemberi pelayanan (provider satisfaction), pada institusi pelayanan yangdiselenggarakan secara efisien (institutional satisfaction).
Interaksi ketiga pilar utamapelayanan kesehatan yang serasi, selaras dan seimbang, merupakan paduan darikepuasan tiga pihak, dan ini merupakan pelayanan kesehatan yang memuaskan(satisfactory healty care).Oleh karena itu, ketika terjadi banyak perubahan dalam sistem pelayanan kesehatanmaka para pemimpin perawat harus berpartisipasi secara aktif dan proaktif untukmencari jalan bagaimana mempengaruhi pengambil keputusan dalam sistem pelayanankesehatan dan membuat untuk didengar suaranya oleh mereka. Para pemimpinperawat memiliki kapasitas kekuatan untuk mempengaruhi kebijakan publik sepanjangmereka memiliki berbagai potensi kepemimpinan.





Daftar Pustaka

Bertens, K. 2000. Etika. Seri Filsafat Atma Jaya: 15. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka  Utama.

Denhardt,      Kathryn     G.   1988.   The    ethics   of    Public    Service.    Westport,     Connecticut:  Greenwood Press.

Henry, Nicholas. 1995. Public Administration and Public Affairs. Sixth Edition. Englewood  Cliffs, N.J.: Prentice-Hall International, Inc.

Perry, James L. 1989. Handbook of Public Administration. San Fransisca, CA: Jossey- Bass.Limited.

Shafritz, Jay.M. dan E.W.Russell. 1997. Introducing Public Administration. New York, N.Y.: Longman. 

http://firwanintianur93.blogspot.com/2013/04/makalah-etika-pelayanan-publik.html





Tidak ada komentar: