WELCOME

WELCOME TO MY BLOG

Sabtu, 20 April 2013

LAPORAN PENDAHULUAN ATRESIA ANI ATAU ANUS IMPERFORATE


LAPORAN PENDAHULUAN ATRESIA ANI
 ATAU
ANUS IMPERFORATE

1.             PENGERTIAN.
Atresia Ani merupakan kelainan bawaan (kongenital), tidak adanya lubang atau saluran anus (Donna L. Wong, 520 : 2003).
Atresia Ani adalah kelainan kongenital yang dikenal sebagai anus imperforate meliputi anus, rectum atau keduanya (Betz, dkk. 2002).
Menurut Ladd dan Gross (1966) anus imperforata dalam 4 golongan, yaitu:
                  1.               Stenosis rektum yang lebih rendah atau pada anus
                  2.               Membran anus yang menetap
                  3.               Anus imperforata dan ujung rektum yang buntu terletak pada bermacam-macam jarak dari peritoneum
                  4.               Lubang anus yang terpisah dengan ujung

Jadi menurut kesimpulan penulis, atresia ani adalah kelainan congenital anus dimana anus tidak mempunyai lubang untuk mengeluarkan feces karena terjadi gangguan pemisahan kloaka yang terjadi saat kehamilan. Walaupun kelainan lubang anus akan mudah terbukti saat lahir, tetapi kelainan bisa terlewatkan bila tidak ada pemeriksaan yang cermat atau pemeriksaan perineum.

2.             KLASIFIKASI
Melbourne membagi berdasarkan garis pubocoxigeus dan garis yang melewati ischii kelainan disebut :
a.              Letak tinggi, rectum berakhir di atas M.Levator ani ( m.pubo coxigeus)
b.             Letak intermediet, akhiran rectum terletak di M.Levator ani
c.              Letak rendah, akhiran rectum berakhir di bawah M.Levator ani

3.             ETIOLOGI
Penyebab atresia ani belum diketahui secara pasti tetap ini merupakan penyakit anomaly kongenital (Bets. Ed 3 tahun 2002)
Akan tetapi atresia juga dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
a.              Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur sehingga bayi lahir tanpa lubang dubur.
b.             Kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu/3 bulan.
c.              Adanya gangguan atau berhentinya perkembangan embriologik didaerah usus, rektum bagian distal serta traktus urogenitalis, yang terjadi antara minggu keempat sampai keenam usia kehamilan.

4.             PATOFISIOLOGI
Atresia ani atau anus imperforate dapat disebabkan karena :
a.              Kelainan ini terjadi karena kegagalan pembentukan septum urorektal secara komplit karena gangguan pertumbuhan, fusi atau pembentukan anus dari tonjolan embrionik
b.             Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur, sehingga bayi lahir tanpa lubang dubur
c.              Gangguan organogenesis dalam kandungan penyebab atresia ani, karena ada kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu atau tiga bulan
d.             Berkaitan dengan sindrom down
e.              Atresia ani adalah suatu kelainan bawaan
f.              Kegagalan migrasi dapat juga karena kegagalan dalam agenesis sakral dan abnormalitas pada uretra dan vagina.
g.             Tidak ada pembukaan usus besar yang keluar anus menyebabkan fecal tidak dapat dikeluarkan sehingga intenstinal menyebabkan obstruksi.

Terdapat tiga macam letak :
a.              Tinggi (supralevator) → rektum berakhir di atas M.Levator ani (m.puborektalis) dengan jarak antara ujung buntu rectum dengan kulit perineum >1 cm. Letak upralevator biasanya disertai dengan fistel ke saluran kencing atau saluran genital.
b.             Intermediate → rectum terletak pada m.levator ani tapi tidak menembusnya.
c.              Rendah → rectum berakhir di bawah m.levator ani sehingga jarak antara kulit dan ujung rectum paling jauh 1 cm. Pada wanita 90% dengan fistula ke vagina/perineum. Pada laki-laki umumnya letak tinggi, bila ada fistula ke traktus urinarius.

PATHWAY



5.             TANDA DAN GEJALA
Menurut Ngastiyah ( 1997 ) gejala yang menunjukan terjadinya atresia ani atau anus .imperforata terjadi dalam waktu 24-48 jam. Gejala itu dapat berupa:
1.             Perut kembung.
2.             Muntah.
3.             Tidak bisa buang air besar
4.             Pada pemeriksaan radiologis dengan posisi tegak serta terbalik dapat dilihat sampai dimana terdapat penyumbatan. 
5.             Tidak dapat atau mengalami kesulitan mengeluarkan mekonium (mengeluarkan tinja yang menyerupai pita).
6.             Perut membuncit.

Tanda dan gejala Menurut Betz, dkk. 2002 :
                  1.               Mekonium tidak keluar dalam 24 jam pertama setelah kelahiran.
                  2.               Tidak dapat dilakukan pengukuran suhu rectal pada bayi.
                  3.               Mekonium keluar melalui sebuah fistula atau anus yang salah letaknya.
                  4.               Distensi bertahap dan adanya tanda-tanda obstruksi usus (bila tidak ada fistula).
                  5.               Bayi muntah-muntah pada umur 24-48 jam.
                  6.               Pada pemeriksaan rectal touché terdapat adanya membran anal.
                  7.               Perut kembung. ( Betz, dkk. 2002)

6.             PENATALAKSANAAN

a.              Pembedahan
Terapi pembedahan pada bayi baru lahir bervariasi sesuai dengan keparahan kelainan. Semakin tinggi gangguan, semakin rumit prosedur pengobatannya. Untuk kelainan dilakukan kolostomi beberapa lahir, kemudian anoplasti perineal yaitu dibuat anus permanen (prosedur penarikan perineum abnormal) dilakukan pada bayi berusia 12 bulan. Pembedahan ini dilakukan pada usia 12 bulan dimaksudkan untuk memberi waktu pada pelvis untuk membesar dan pada otot-otot untuk berkembang.
Tindakan ini juga memungkinkan bayi untuk menambah berat badan dan bertambah baik status nutrisnya. Gangguan ringan diatas dengan menarik kantong rectal melalui afingter sampai lubang pada kulit anal fistula, bila ada harus tutup kelainan membranosa hanya memerlukan tindakan pembedahan yang minimal membran tersebut dilubangi degan hemostratau skapel.

b.             Pengobatan.
                                     1.              Aksisi membran anal (membuat anus buatan)
                                     2.              Fiktusi yaitu dengan melakukan kolostomi sementara dan setelah 3 bulan dilakukan korksi sekaligus (pembuat anus permanen)
c.              Keperawatan
Kepada orang tua perlu diberitahukan mengenai kelainan pada anaknya dan keadaan tersebut dapat diperbaiki dengan jalan operasi. Operasi akan dilakukan 2 tahap yaitu tahap pertama hanya dibuatkan anus buatan dan setelah umur 3 bulan dilakukan operasi tahapan ke 2, selain itu perlu diberitahukan perawatan anus buatan dalam menjaga kebersihan untuk mencegah infeksi serta memperhatikan kesehatan bayi. (Staf Pengajar FKUI. 205).

7.             PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

a.              Pemeriksaan rectal digital dan visual adalah pemeriksaan diagnostik yang umum dilakukan pada gangguan ini.  Pemeriksaan fisik rectum kepatenan rectal dapat dilakukan colok dubur dengan menggunakan selang atau jari.
b.             Jika ada fistula, urin dapat diperiksa untuk memeriksa adanya sel-sel epitel mekonium.
c.              Pemeriksaan sinyal X lateral infeksi (teknik wangensteen-rice) dapat menunjukkan adanya kumpulan udara dalam ujung rectum yang buntu pada mekonium yang mencegah udara sampai keujung kantong rectal.
d.             Ultrasound dapat digunakan untuk menentukan letak rectal kantong.  Ultrasound    terhadap abdomen Digunakan untuk melihat fungsi organ internal terutama dalam system pencernaan dan mencari adanya faktor reversible seperti obstruksi oleh karena massa tumor.
e.              Aspirasi jarum untuk mendeteksi kantong rectal dengan menusukan jarum tersebut sampai melakukan aspirasi, jika mekonium tidak keluar pada saat jarum sudah masuk 1,5 cm Derek tersebut dianggap defek tingkat tinggi.
f.              Pemeriksaan radiologis dapat ditemukan
Udara dalam usus berhenti tiba-tiba yang menandakan obstruksi di daerah tersebut.
Tidak ada bayangan udara dalam rongga pelvis pada bagian baru lahir dan gambaran ini harus dipikirkan kemungkinan atresia reftil/anus impoefartus, pada bayi dengan anus impoefartus. Udara berhenti tiba-tiba di daerah sigmoid, kolon/rectum.
Dibuat foto anterpisterior (AP) dan lateral. Bayi diangkat dengan kepala dibawah dan kaki diatas pada anus benda bang radio-opak, sehingga pada foto daerah antara benda radio-opak dengan dengan bayangan udara tertinggi dapat diukur.

g.             Sinar X terhadap abdomen
Dilakukan untuk menentukan kejelasan keseluruhan bowel dan untuk mengetahui jarak pemanjangan kantung rectum dari sfingternya.
h.             Ultrasound terhadap abdomen
Digunakan untuk melihat fungsi organ internal terutama dalam system pencernaan dan mencari adanya faktor reversible seperti obstruksi oleh karena massa tumor.
i.               CT Scan
Digunakan untuk menentukan lesi.
j.               Pyelografi intra vena
Digunakan untuk menilai pelviokalises dan ureter.
k.             Pemeriksaan fisik rectum
Kepatenan rectal dapat dilakukan colok dubur dengan menggunakan selang atau jari.
l.               Rontgenogram abdomen dan pelvis
Juga bisa digunakan untuk mengkonfirmasi adanya fistula yang berhubungan dengan traktus urinarius.

8.             PROGNOSIS
Sebagian besar prognosis dari atresia ani biasanya baik bila didukung perawatan yang tepat dan juga tergantung kelainan letak anatomi saat lahir.
Untuk anak-anak yang memiliki hasil yang buruk untuk kontinensia dan sembelit dari operasi awal, operasi lebih lanjut untuk lebih membentuk sudut antara anus dan rektum dapat meningkatkan penahanan dan, bagi mereka dengan rektum besar, operasi untuk mengangkat bahwa segmen membesar secara signifikan dapat meningkatkan kontrol usus untuk pasien. Mekanisme enema antegrade dapat dibentuk dengan bergabung lampiran ke kulit (Malone stoma), namun, mendirikan anatomi lebih normal adalah prioritas.
Biasanya dokter dapat membuat diagnosis visual yang jelas atesia dubur setelah lahir. Kadang-kadang, bagaimanapun, atresia anus yang tidak terjawab sampai bayi makan dan tanda-tanda obstruksi usus muncul. Pada akhir hari pertama atau kedua, perut membengkak dan ada muntah feces. Untuk menentukan jenis atresia anal dan posisi yang tepat, sinar x akan diambil yang meliputi menyuntikkan pewarna ke dalam pembukaan buram. Magnetic Resonance Imaging (MRI) atau computed tomography scan (CT), serta USG, adalah teknik pencitraan yang digunakan untuk menentukan jenis dan ukuran atresia anus. USG menggunakan gelombang suara, CT scan sinar x lulus melalui tubuh pada sudut yang berbeda, dan MRI menggunakan medan magnet dan gelombang radio.

9.             KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita atresia ani antara lain :
a.              Asidosis hiperkioremia.
b.             Infeksi saluran kemih yang bisa berkepanjangan.
c.              Kerusakan uretra (akibat prosedur bedah).
d.             Komplikasi jangka panjang.
- Eversi mukosa anal
- Stenosis (akibat kontriksi jaringan perut dianastomosis)
e.              Masalah atau kelambatan yang berhubungan dengan toilet training.
f.              Inkontinensia (akibat stenosis awal atau impaksi)
g.             Prolaps mukosa anorektal.
h.             Fistula kambuan (karena ketegangan diare pembedahan dan infeksi). (Ngustiyah, 1997 : 248)

10.         DIAGNOSA KEPERAWATAN

                  1.               Inkontinen bowel (tidak efektif fungsi ekskretorik) berhubungan dengan tidak lengkapnya pembentukan anus.
                  2.               Gangguan integritas kulit berhubungan dengan kolostomi.
                  3.               Resiko infeksi beerhubungan dengan prosedur pembedahan
                  4.               Kecemasan keluarga berhubungan dengan prosedur permbedahan dan kondisi bayi
                  5.               Kurangnya pengetahuan berhubungan dengan kebutuhan keperwatan dirumah dan pembedahan.

11.         INTERVENSI

Diagnosa 1 dan 2
1.             Berikan perawatan kulit pada anoplasty dan jaga area tetap bersih
2.             Kaji adanya kemerahan, bengkak, dan drainase
3.             Posisikan bayi miring kesamping dengan kaki fleksi atau dengan kaki prone dan panggul ditinggikan untuk mengurangi edema dan tekanan pada area pembedahan.
4.             Gunakan kantong kolostomi yang hipoalergi untuk melindungi kalit yang sensitif.
5.             Petahankan puasa dan berikan terapi hidrasi melalui IV sampai fungsi usus normal.
6.             Kaji kolostomi : warna harus pink, dan tidak ada purulen, pembengkakan atau kerusakan kulit.
7.             Dilatasikan anal setelah pembedahan sesuai program

Diagnosa 3
1.             Kaji tanda – tanda infeksi.
2.             Mengganti balutan dengan teknik steril
3.             Hindari bahan – bahan yang dapat mengkontaminasi insisi pembedahan.
4.             Jaga kulit tetap kering dan tidak ada pembesaran.
5.             Pantau kolostomi dengan konstan

Diagnosa 4
1.             Ajarkan untuk mengekspresikan perasaan.
2.             Berikan onformasi tentang kondisi, pembedahan dan perawatan dirumah.
3.             Ajarkan keluarga untuk berpartitisifasi dalam perawatan bayi
4.             Berikan pujian pada orangtua saat melakuakan perawatan pada bayi
5.             Lakukan boding orangtua – bayi
6.             Jelaskan kebutuhan terapi : IV, NGT, pengukuran tanda – tanda vitaldan pengkajian

Diagnosa 5
1.             Ajarkan perawatan kolostomi dan partisifasi keluarga dalam perawatan sampai mereka dapat melakukan perawatan
2.             Konsulkan keperwat enterostomal bila perlu.
3.             Berikan pujian saat melakukan perawatan dan jawab pertanyaan secara jujur apa yang dibutuhkan keluarga
4.             Ajarkan untyuk mengenal tanda – tand dan gejala yang perlu dilaporkan pada perwat , dokter, atau perawat enterostomal.
5.             Ajarkan bagaimana memberikan pengamanan pada bayi dan melakukan dilatasi pada anal.
6.             Berikan instruksi secara tertulis dan verbal tentang alat – alat yang dibutuhkan untuk perwatan dirumah.
7.             Tekankan tetap mengadakan stimulasi pada bayi untuk mensupport tumbuh kembang.
(Suriadi dan Yuliani, Rita. 2001)




DAFTAR PUSTAKA

Betz, Cealy L. & Linda A. Sowden. (2002). Buku Saku Keperawatan Pediatrik. Edisike-3. Jakarta : EGC.
Ngastiyah. (1997). Perawatan Anak Sakit. Jakarta : EGC.
Suriadi dan Yuliani, Rita. (2001). Asuhan Keperawatan Pada Anak. Edisi I. Pt FAJAR INTERPRATAMA
Wong, Donna L. (2003). Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Sri Kurnianianingsih (ed), Monica Ester (Alih Bahasa). edisi ke-4. Jakarta : EGC.

Tidak ada komentar: