WELCOME

WELCOME TO MY BLOG

Rabu, 23 Januari 2013

MAKALAH INFORMED CONSENT


BAB I
PENDAHULUAN

1.1.            Latar Belakang
Informed consent adalah suatu proses yang menunjukkan komunikasi yang efektif antara dokter dengan pasien, dan bertemunya pemikiran tentang apa yang akan dan apa yang tidak akan dilakukan terhadap pasien. Informed consent dilihat dari aspek hukum bukanlah sebagai perjanjian antara dua pihak, melainkan lebih ke arah persetujuan sepihak atas layanan yang ditawarkan pihak lain.  Atau Informed Consent adalah persetujuan tindakan kedokteran yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekatnya setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut. Tujuan Informed Consent adalah memberikan perlindungan kepada pasien serta memberi perlindungan hukum kepada dokter terhadap suatu kegagalan dan bersifat negative.
Definisi operasionalnya adalah suatu pernyataan sepihak dari orang yang berhak (yaitu pasien, keluarga atau walinya) yang isinya berupa izin atau persetujuan kepada dokter untuk melakukan tindakan medik sesudah orang yang berhak tersebut diberi informasi secukupnya
Menurut PerMenKes no 290/MenKes/Per/III/2008 dan UU no 29 th 2004 Pasal 45 serta Manual Persetujuan Tindakan Kedokteran KKI tahun 2008. maka Informed Consent adalah persetujuan tindakan kedokteran yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekatnya setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut.
Dalam hubungan hukum, pelaksana dan pengguna jasa tindakan medis (dokter, dan pasien) bertindak sebagai “subyek hukum ” yakni orang yang mempunyai hak dan kewajiban, sedangkan “jasa tindakan medis” sebagai “obyek hukum” yakni sesuatu yang bernilai dan bermanfaat bagi orang sebagai subyek hukum, dan akan terjadi perbuatan hukum yaitu perbuatan yang akibatnya diatur oleh hukum, baik yang dilakukan satu pihak saja maupun oleh dua pihak.
Dalam masalah “informed consent” dokter sebagai pelaksana jasa tindakan medis, disamping terikat oleh KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) bagi dokter, juga tetap tidak dapat melepaskan diri dari ketentuan-ketentuan hukun perdata, hukum pidana maupun hukum administrasi, sepanjang hal itu dapat diterapkan.
Untuk itu,Contoh sebagai calon dokter gigi, perlu untuk mengetahui tentang aspek hukum informed consent. Selain itu perlu pula mengetahui isi dari informed consent serta format informed consent yang sah secara hukum.

1.2.            Tujuan
Tujuan dari dibuatnya makalah ini adalah agar mahasiswa dapat memahami dan mengetahui tentang informed consent. Serta mampu untuk menerapkan informed consent dan dapat mengetahui sanksi – sanksi atas pelanggaran yang akan dilakukan.



BAB II
ISI

2.1  Pengertian
Secara harfiah  Informed Consent  merupakan padanan kata dari: Informed artinya telah diberikan penjelasan/informasi ,dan  Consent  artinya persetetujuan yang diberikan kepada seseorang untuk berbuat sesuatu.
“Informed Consent” terdiri dari dua kata yaitu “informed” yang berarti telah mendapat penjelasan atau keterangan (informasi), dan “consent” yang berarti persetujuan atau memberi izin. Jadi “informed consent” mengandung pengertian suatu persetujuan yang diberikan setelah mendapat informasi. Dengan demikian “informed consent” dapat didefinisikan sebagai persetujuan yang diberikan oleh pasien dan atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medis yang akan dilakukan terhadap dirinya serta resiko yang berkaitan dengannya.
Menurut D. Veronika Komalawati, SH , “informed consent” dirumuskan sebagai “suatu kesepakatan/persetujuan pasien atas upaya medis yang akan dilakukan dokter terhadap dirinya setelah memperoleh informasi dari dokter mengenai upaya medis yang dapat dilakukan untuk menolong dirinya disertai informasi mengenai segala resiko yang mungkin terjadi.
Definisi operasionalnya adalah suatu pernyataan sepihak dari orang yang berhak (yaitu pasien, keluarga atau walinya) yang isinya berupa izin atau persetujuan kepada dokter untuk melakukan tindakan medik sesudah orang yang berhak tersebut diberi informasi secukupnya.
Persetujuan tindakan adalah kesepakatan yang dibuat seorang klien untuk menerima rangkaian terapi atau prosedur setelah informasi yang lengkap, termasuk risiko terapi dan fakta yang berkaitan dengan terapi tersebut, telah diberikan oleh dokter. Oleh karena itu, persetujuan tindakan adalah pertukaran antara klien dan dokter. Biasanya, klien menandatangani formulir yang disediakan oleh institusi. Formulir itu adalah suatu catatan mengenai persetujuan tindakan, bukan persetujuan tindakan itu sendiri.
Mendapatkan persetujuan tindakan untuk terapi medis dan bedah spesifik adalah tanggung jawab dokter. Meskipun tanggung jawab ini didelegasikan kepada perawat di beberapa institusi dn tidak terdapat hukum yang melarang perawat untuk menjadi bagian dalam proses pemberian informasi tersebut, praktik tersebut sangat tidak dianjurkan (Aiken dan Catalano, 1994, hlm. 104).
2.2  Tujuan Informed Consent
Di Indonesia informed Consent tentu memiliki maksud  tujuan diatur terlihat dari arti pentinganya  perlindungan terhadap hak-hak azasi  pasien untuk menentukan nasib sendiri (hak informasi tentang penyakitnya, hak untuk menerima/menolak rencana perawatan). Juga merupakan suatu tindakan konkrit atas penghormatan kalangan kesehatan terhadap hak perorangan. mengingat perlu dan pentinya pembatasan Otorisasi Tenaga kesehatan terhadap pasien juga merupakan hal yang bisa dilepaskan.
Dalam hubungan antara pelaksana (dokter) dengan pengguna jasa tindakan medis (pasien), maka pelaksanaan “informed consent”, bertujuan : Melindungi pengguna jasa tindakan medis (pasien) secara hukum dari segala tindakan medis yang dilakukan tanpa sepengetahuannya, maupun tindakan pelaksana jasa tindakan medis yang sewenang-wenang, tindakan malpraktek yang bertentangan dengan hak asasi pasien dan standar profesi medis, serta penyalahgunaan alat canggih yang memerlukan biaya tinggi atau “over utilization” yang sebenarnya tidak perlu dan tidak ada alasan medisnya;
Memberikan perlindungan hukum terhadap pelaksana tindakan medis dari tuntutan-tuntutan pihak pasien yang tidak wajar, serta akibat tindakan medis yang tak terduga dan bersifat negatif, misalnya terhadap “risk of treatment” yang tak mungkin dihindarkan walaupun dokter telah bertindak hati-hati dan teliti serta sesuai dengan standar profesi medik. Sepanjang hal itu terjadi dalam batas-batas tertentu, maka tidak dapat dipersalahkan, kecuali jika melakukan kesalahan besar karena kelalaian (negligence) atau karena ketidaktahuan (ignorancy) yang sebenarnya tidak akan dilakukan demikian oleh teman sejawat lainnya.
Perlunya dimintakan informed consent dari pasien karena informed consent mempunyai beberapa fungsi sebagai berikut :
1.      Penghormatan terhadap harkat dan martabat pasien selaku manusia
2.      promosi terhadap hak untuk menentukan nasibnya sendiri
3.      untuk mendorong dokter melakukan kehati-hatian dalam mengobati pasien
4.      menghindari penipuan dan misleading oleh dokter
5.      mendorong diambil keputusan yang lebih rasional
6.      mendorong keterlibatan publik dalam masalah kedokteran dan kesehatan
7.      sebagai suatu proses edukasi masyarakat dalam bidang kedokteran dan kesehatan.
Pada prinsipnya iformed consent deberikan di setiap pengobatan oleh dokter. Akan tetapi, urgensi dari penerapan prinsip informed consent sangat terasa dalam kasus-kasus sebagai berikut :
1.      dalam kasus-kasus yang menyangkut dengan pembedahan/operasi
2.      dalam kasus-kasus yang menyangkut dengan pengobatan yang memakai teknologi baru yang sepenuhnya belum dpahami efek sampingnya.
3.      dalam kasus-kasus yang memakai terapi atau obat yang kemungkinan banyak efek samping, seperti terapi dengan sinar laser, dll.
4.      dalam kasus-kasus penolakan pengobatan oleh klien
5.      dalam kasus-kasus di mana di samping mengobati, dokter juga melakukan riset dan eksperimen dengan berobjekan pasien.
Tujuan dari informed consent adalah agar pasien mendapat informasi yang cukup untuk dapat mengambil keputusan atas terapi yang akan dilaksanakan. Informed consent juga berarti mengambil keputusan bersama. Hak pasien untuk menentukan nasibnya dapat terpenuhi dengan sempurna apabila pasien telah menerima semua informasi yang ia perlukan sehingga ia dapat mengambil keputusan yang tepat. Kekecualian dapat dibuat apabila informasi yang diberikan dapat menyebabkan guncangan psikis pada pasien.

Dokter harus menyadari bahwa informed consent memiliki dasar moral dan etik yang kuat. Menurut American College of Physicians’ Ethics Manual, pasien harus mendapat informasi dan mengerti tentang kondisinya sebelum mengambil keputusan. Berbeda dengan teori terdahulu yang memandang tidak adanya informed consent menurut hukum penganiayaan, kini hal ini dianggap sebagai kelalaian. Informasi yang diberikan harus lengkap, tidak hanya berupa jawaban atas pertanyaan pasien.

2.3  Bentuk-Bentuk Informed Consent
Ada dua bentuk persetujuan tindak medik yang sesuai dengan peraturan berlaku antara lain:
1.      Tersirat ( Implied Consent) dimana persetujuan tindakan medik  dianggap telah diberikan kepada pihak pasien Persetujuan Tersirat ( Implied Consent)  Tanpa pernyataan yang tegas, hanya dengan isyarat yang diterima tenaga kesehatan berdasarkan sikap dan tindakan pasien. Dalam kondisi normal : umumnya merupakan tindakan yang sudah diketahui umum/biasa. Dalam kondisi darurat : pasien tak mungkin diajak komunikasi, keluarga tak ditempat ( Permenkes 585/1989, Pasal 11) merupakan Presumed consent.
2.      Dinyatakan ( Expressed Consent) merupakan persetujuan dinyatakan dengan lisan atau tulisan. Pada tindakan yang melebihi prosedur yang umum /biasa dilakukan ; pemeriksaan genital / rectal atau lisan. Tindakan invasif/ berisiko; pembedahan untuk terapi/diagnosis dengan tertulis
Secara umum bentuk persetujuan yang diberikan pengguna jasa tindakan medis (pasien) kepada pihak pelaksana jasa tindakan medis (dokter) untuk melakukan tindakan medis dapat dibedakan menjadi tiga bentuk, yaitu :
1.      Persetujuan Tertulis, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang mengandung resiko besar, sebagaimana ditegaskan dalam PerMenKes No. 585/Men.Kes/Per/IX/1989 Pasal 3 ayat (1) dan SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 butir 3, yaitu intinya setiap tindakan medis yang mengandung resiko cukup besar, mengharuskan adanya persetujuan tertulis, setelah sebelumnya pihak pasien memperoleh informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medis serta resiko yang berkaitan dengannya (telah terjadi informed consent);
2.      Persetujuan Lisan, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang bersifat non-invasif dan tidak mengandung resiko tinggi, yang diberikan oleh pihak pasien;
3.      Persetujuan dengan isyarat, dilakukan pasien melalui isyarat, misalnya pasien yang akan disuntik atau diperiksa tekanan darahnya, langsung menyodorkan lengannya sebagai tanda menyetujui tindakan yang akan dilakukan terhadap dirinya.
2.4  Unsur Informed Consent
Suatu informed consent baru sah diberikan oleh pasien jika memenuhi minimal 3 (tiga) unsure sebagai berikut :
1.      Keterbukaan informasi yang cukup diberikan oleh dokter
2.      Kompetensi pasien dalam memberikan persetujuan
3.      Kesukarelaan (tanpa paksaan atau tekanan) dalam memberikan persetujuan.

2.5  Aspek Hukum Informed Consent

Dalam hubungan hukum, pelaksana dan pengguna jasa tindakan medis (dokter, dan pasien) bertindak sebagai “subyek hukum ” yakni orang yang mempunyai hak dan kewajiban, sedangkan “jasa tindakan medis” sebagai “obyek hukum” yakni sesuatu yang bernilai dan bermanfaat bagi orang sebagai subyek hukum, dan akan terjadi perbuatan hukum yaitu perbuatan yang akibatnya diatur oleh hukum, baik yang dilakukan satu pihak saja maupun oleh dua pihak.

Dalam masalah “informed consent” dokter sebagai pelaksana jasa tindakan medis, disamping terikat oleh KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) bagi dokter, juga tetap tidak dapat melepaskan diri dari ketentuan-ketentuan hukun perdata, hukum pidana maupun hukum administrasi, sepanjang hal itu dapat diterapkan.

Pada pelaksanaan tindakan medis, masalah etik dan hukum perdata, tolok ukur yang digunakan adalah “kesalahan kecil” (culpa levis), sehingga jika terjadi kesalahan kecil dalam tindakan medis yang merugikan pasien, maka sudah dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum. Hal ini disebabkan pada hukum perdata secara umum berlaku pada “barang siapa merugikan orang lain harus memberikan ganti rugi”.
Sedangkan pada masalah hukum pidana, tolak ukur yang dipergunakan adalah “kesalahan berat” (culpa lata). Oleh karena itu, adanya kesalahan kecil (ringan) pada pelaksanaan tindakan medis belum dapat dipakai sebagai tolak ukur untuk menjatuhkan sanksi pidana.

Aspek Hukum Perdata, suatu tindakan medis yang dilakukan oleh pelaksana jasa tindakan medis (dokter) tanpa adanya persetujuan dari pihak pengguna jasa tindakan medis (pasien), sedangkan pasien dalam keadaan sadar penuh dan mampu memberikan persetujuan, maka dokter sebagai pelaksana tindakan medis dapat dipersalahkan dan digugat telah melakukan suatu perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer). Hal ini karena pasien mempunyai hak atas tubuhnya, sehingga dokter dan harus menghormatinya;

Aspek Hukum Pidana, “informed consent” mutlak harus dipenuhi dengan adanya pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penganiayaan. Suatu tindakan invasive (misalnya pembedahan, tindakan radiology invasive) yang dilakukan pelaksana jasa tindakan medis tanpa adanya izin dari pihak pasien, maka pelaksana jasa tindakan medis dapat dituntut telah melakukan tindak pidana penganiayaan yaitu telah melakukan pelanggaran terhadap Pasal 351 KUHP.

Sebagai salah satu pelaksana jasa tindakan medis dokter harus menyadari bahwa “informed consent” benar-benar dapat menjamin terlaksananya hubungan hukum antara pihak pasien dengan dokter, atas dasar saling memenuhi hak dan kewajiban masing-masing pihak yang seimbang dan dapat dipertanggungjawabkan. Masih banyak seluk beluk dari informed consent ini sifatnya relative, misalnya tidak mudah untuk menentukan apakah suatu inforamsi sudah atau belum cukup diberikan oleh dokter. Hal tersebut sulit untuk ditetapkan secara pasti dan dasar teoritis-yuridisnya juga belum mantap, sehingga diperlukan pengkajian yang lebih mendalam lagi terhadap masalah hukum yang berkenaan dengan informed consent ini.

Adanya kewajiban dari pihak pemberi informasi dalam menyampaikan sebuah persetujuan tindak medik yang akan dilakukan atau setelah dilakukan. Tentunya tenaga kesehatan harus menyampaikan informasi atau penjelasan kepada pasien/ keluarga diminta atau tidak diminta. Informasi tersebut: harus dengan jelas yang berkaitan dengan penyakit pasien ; prosedur diagnostik, tindakan/terapi, alternatif terapi dan pembiayaan serta resiko yang mungkin timbul dari proses tersebut dan harus dijelaskan selengkap-lengkapnya, kecuali dipandang merugikan pasien atau pasien menolak untuk diberikan  informasi. Informasi itu juga sewajarnya diberikan oleh tenaga kesehatan yang melakukan tindakan atau tenaga kesehatan lain yang diberi wewenang, dan bila dipandang perlu informasi bisa diberikan pada pihak keluarga pasien

Persetujuan dari pasien dari merupakan hal yang harus sangat diperhatikan, pasien tepat tidak dibawah tekanan hubungan tenaga – pasien. Sebelum dan sesudahnya telah mendapatkan informasi lengkap, dan pihak yang membuat persetujuan adalah mereka pasien dewasa
 (lebih dari 21 tahun  atau sudah menikah ) atau dapat diwakilkan pihak Keluarga/ Wali/ induk semang.

Syarat sahnya persetujuan tindakan medik  yang dilakukan oleh tenaga medis terhadap pasien, sejatinya pasien diberikan secara bebas, diberikan oleh orang yang sanggup membuat perjanjian.Telah mendapatkan penjelasan dan memahaminya, Mengenai susuatu hal yang khas dari persetujuan ini, tindakan dilakukan pada situasi yang sama.
Tetapi penolakan (informed refusal) bisa juga dilakukan oleh pasien, karena merupakan hak pasien/ keluarga pasien dan tiada satupun tenaga kesehatan yang bisa memaksa sekalipun berbahaya bagi pasien maka sebaiknya pihak rumah sakit/ dokter meminta pasien/ kel menandatangani surat penolakan terhadap anjuran tindakan medik tersebut di lembaran khusus.

2.6  Sanksi Hukum terhadap Informed Consent
1.      Sanksi pidana
Apabila seorang tenaga kesehatan menorehkan benda tajam tanpa persetujuan pasien dipersamakan dengan adanya penganiayaan yang dapat dijerat Pasal 351 KUHP
2.      Sanksi perdata
Tenaga kesehatan atau sarana kesehatan yang mengakibatkan kerugian dapat digugat dengan 1365, 1367, 1370, 1371 KUHPer
3.      Sanksi administratif
Pasal 13 Pertindik mengatur bahwa :
Terhadap dokter yang melakukan tindakan medis tanpa persetujuan pasien atau keluarganya dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan izin praktik.


BAB III
PENUTUP

3.1  Kesimpulan
Di Indonesia perkembangan “informed consent” secara yuridis formal, ditandai dengan munculnya pernyataan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tentang “informed consent” melalui SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 pada tahun 1988. Kemudian dipertegas lagi dengan PerMenKes No. 585 tahun 1989 tentang “Persetujuan Tindakan Medik atau Informed Consent”. Serta dipertegas oleh Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004.

informed Consent yang diperoleh dengan tata cara yang tidak benar tidak dapat di anggap sebagai penemu hak otonomi pasien, sehingga tindakan tersebut merupakan tindakan melanggar hukum namun demikian pelaksanaan informed Consennt di indonesia hanya dilakukan dengan mengindahkan nilai-nilai dalam budaya setempat yang sangat bervariasi.

3.2  Saran
Dalam Hal ini semoga dapat membatu pengetahuan dan menambah ilmu pengetahuan kita dalam kesehatan , dan yang terpenting adalah dalam hal ini Pemerintah Bertanggung jawab merencanakan , mengatur, menyelenggarakan dan membina Serta mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masayarakat. Juga sumber daya di bidang kesehatan yang adil dan merata bagi seluruh masyarakat untuk memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya, terhadap Informed Consent agar kelak tidak terjadi perselisihan .






DAFTAR PUSTAKA

Yuningsih, Yuyun dkk. 2006. Praktik Keperawatan Profesional Konsep & Perspektif, Ed.4. Jakarta: EGC

http://www.ilunifk83.com/t143-informed-consent diakses 19 Januari 2013 pukul 10:26 PM




Jumat, 11 Januari 2013

MAKALAH TENTANG ASUHAN KEPERAWATAN KELUARGA


BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang

Sebagai salah satu komponen yang penting dalam keperawatan adalah keluarga. Keluarga merupakan unit terkecil setelah individu yang menjadi klien dalam keperawatan (sebagai penerima asuhan keperawatan). Keluarga berperan dalam menentuka cara pemberian asuhan yang dibutuhkan oleh si sakit apabila ada anggota keluarga yang sakit. Keberhasilan perawatan di Rumah Sakit atau tempat pelayanan kesehatan dapat menjadi sia-sia bila tidak di dukung atau di tindak lanjuti oleh keluarga yang merawat klien di rumah, sehingga dapat di katakan bahwa kesehatan anggota keluarga dan kulaitas kehidupan keluarga sangat berhubungan.
Keluarga menempati posisi di antara individu dan masyarakat  sehingga dalam memberikan asuhan keperawatan pada keluarga perawat memperoleh 2 sisi penting yaitu memenuhi kebutuhan perawatan pada individu yang menjadi anggota keluarga dan memenuhi perawatan keluarga yang menjadi bagian dari masyarakat. Untuk itu dalam memberikan asuhan keperawatan perawat perlua juga memperhatikan hal-hal penting antar lain nilai-nilai dan budaya yang di anut oleh keluarga sehingga keluarga dapat menerima dan bekerja sama dangan petugas kesehatan dalam hal ini adalah perawat dalam mencapai tujuan asuhan yang telah ditetapkan.
Asuhan keperawatan keluarga merupakan salah satu bentuk pelayanan kesehatan yang di laksanakan oleh perawat yang di berikan di rumah atau tempat tinggal klien.bagi klien beserta keluarga sehingga klien dan keluarga tetap memiliki otonomi untuk memutuskan hal-hal yang berkaitan dangan masalah kesehatan yang di hadpinya. Perawat yang melakukan asuhan bertanggung jawab terhadap peningkatan kemampuan keluarga dalam mencegah timbulnya penyakit, meningkatan dan memelihara kesehatan, serta mengatasi masalah kesehatan. Tetapi di indonesia belum memiliki suatu lembga atau organisasi yang bertuga untuk mengatur pelayanan keperawatan keluarga secara administratif. Pelayanan keperawatan keluarga saat ini masih di berikan secara sukarela dan belum ada pengaturan terhadap jasa perawatan yang telah di berikan.
Pengalaman belajar klinik di komunitas memberikan bekal bagi mahasiswa untuk memperoleh pengalaman nyata dalam memberikan asuhan keperawatan bagi keluarga yang mengalami masalah kesehatan khususnya dengan menerapkan proses keperawatan sebagai pendekatan pemecahan masalah. Dalam hal ini mahasiswa di harapkan mampu memodifikasi suatu rencana yang telah di susun di sesuaikan dengan keadaan keluarga yang sesungguhnya agar rencana tersebut benar-benar dapat di laksanakan di keluarga.  
 
B.  Tujuan
1.    Tujuan Umum
Setelah menyelesaikan pengalaman belajar klinik di harapkan mampu menerapkan asuhan keperawatan pada keluarga yang mengalami masalah kesehatan sesuai dengan tugas dan perkembangan keluarga.
2.    Tujuan khusus
Setelah menyelesaikan pengalaman belajar klinik komunitas di harapkan mampu:
a.    Mengidentifikasi data yang sesuai dengan masalah kesehatan yang di hadapi oleh keluarga.
b.    Merumuskan diagnosa keperawatan keluarga sesuai dengan masalah kesehatan yang di hadapi oleh keluarga.
c.    Menyusun rencana tindakan sesuai dengan diagnosa keperawatan keluarga yang muncul.
d.   Melaksanakan rencana keperawatan yang telah di susun.
e.    Memodifikasi rencana yang telah di susun agar dapat di laksanakan oleh keluarga sesuai dengan kemampuan keluarga.
f.     Mengevaluasi pelaksanaan asuhan keperawatan keluarga.
g.    Mendokumentasikan asuhan yang telah di berikan secara benar.

C.   Metodologi
Asuhan keperawatan keluarga ini menggunakan metode diskriptif dalam bentuk studi kasus pada klien dan keluarga yang mempunyai masalah kesehatan/ keperawatan di RT 3 RW II Kel. Gunung Anyar Kec. Gunung Anyar. Adapun langkah penulisan asuhan keperawatan yaitu:
1.    Studi pustaka dengan mempelajari literatur ilmiah yang berhubungan dengan asuhan keperawatan keluarga dengan masalah kesehatan hipertensi.
2.    Studi kasus dengan melakukan asuhan keperawatan pada keluarga binaan yang salah satu anggota keluarganya menderita tekanan darah tinggi, yang diawali dengan pengumpulan data fokus, biopsikososial spiritual melalui wawancara, pemeriksaan fisik dan observasi data dan semua data yang menunjang untuk penegakan suatu diagnosa keperawatan. Setelah data terkumpul, data dianalisis untuk merumuskan diagnosa keperawatan keluarga. Kemudian penulis memberikan intervensi secara langsung pada klien selama 5 kali kunjungan dan memberikan penyuluhan.







BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.  Konsep Dasar

1. Keperawatan Kesehatan Keluarga
Keluarga adalah dua atau lebih yang tergabung karena hubungan darah, hubungan perkawinan atau pengangkatan dan mereka hidup dalam suatu rumah tangga, berinteraksi satu sama lain dan di dalam peranannya masing-masing dan menciptakan serta mempertahankan suatu kebudayaan (Bailon & Maglaya, 1989).
Alasan keluarga sebagai unit pelayanan keperawatan menurut Friedman, keluarga adalah sebagai unit utama dari masyarakat dan merupakan lembaga yang menyangkut kehidupan masyarakat. Keluarga sebagai kelompok dapat menimbulkan, mencegah, mengabaikan atau memperbaiki masalah-masalah kesehatan keluarga dalam kelompoknya sendiri, masalah kesehatan dalam keluarga saling berkaitan, penyakit pada salah satu anggota keluarga juga akan mempengaruhi seluruh keluarga tersebut. Keluarga merupakan perantara yang efektif dan mudah untuk berbagai usaha kesehehatan masyarakat, perawat dapat menjangkaua seluruh masyarakat melalui keluarga. Dalam memelihara klien sebagai individu keluarga tetap berperan dalam pengambilan keputusan dalam melakukan pemeliharaan anggota keluarga. Keluarga merupakan lingkungan yang serasi untuk mengembangkan potensi tiap individu yang menjadi anggota dalam keluarga.
Sedangkan tujuan perawatan kesehatan keluarga adalah memungkinkan keluarga untuk mengelola masalah kesehatan dan mempertahankan fungsi dan melindungi keluarga serta memperkuat pelayanan kepada masyarakat tentang perawatan kesehatan.


2.    Tipe-tipe Keluarga
a.    Keluarga inti (Nuclear Family) yaitu keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anaknya dalam satu rumah.
b.    Keluarga besar (Extanded Family) yaitu keluarga inti di tamdah dengan sanak saudara, misalnya kakek, nenek, bibi, keponakan, saudara sepupu dll.
c.    Keluarga berantai (Serial Family) yaitu keluarga yang terdiri dari wanita dan pria yang menikah lebih dari satu kali dan merupakan satu keluarga inti.
d.   Keluarga duda/ janda (Single Family) yaitu keluarga yang terjadi perceraian atau kematian.
e.    Keluarga berkomposisi (Composite) yaitu keluarga yang perkawinanya berpoligami dan hidup bersama.
f.     Keluarga kabitas (Cohabitation) yaitu dua orang yang menjadi satu tanpa pernikahan tetapi membentuk suatu keluarga.

3.    Fungsi Keluarga (Friedman)
a.    Fungsi afektif
-   Perlindungan psikologis.
-   Rasa aman.
-   Interaksi.
-   Mendewasakan.
-   Mengenal identitas diri individu.
b.    Fungsi sosialisasi peran
-   Fungsi dan peran di masyarakat.
-   Sasaran untuk kontak sosial di dalam dan di luar rumah.
c.    Fungsi reproduksi
-          Menjamin kelangsungan generasi dan kelangsungan hidup bermasyarakat.

d.   Fungsi memenuhi kebutuhan fisik dan perawatan
-   Sandang, pangan dan papan.
-   Perawatan kesehatan.
e.    Fungsi ekonomi
Pengadaan sumber dana, pengalokasian dana dan pengaturan keseimbangan.
f.     Fungsi pengontrol/ pengatur
Memberikan pendidikan dan norma-norma.
4.    Tugas dan perkembangan (Duvall)
a.    Keluarga baru (Beginning Family)
Pasangan yang belum mempunyai anak yang mempunyai tugas perkembangan antara lain: membina hubungan dan kepuasan bersama, menetapkan tujuan bersama, membina hubungan dengan keluarga lain, merencanakan jumlah anak dan mempersiapkan diri menjadi orang tua.
b.    Keluarga dengan anak I < 30 bln ( Child bearing).
Tugas perkembangannya adalah membagi peran dan tanggung jawab melakukan penataan ruangan bagi anak, bertanggung jawab merawat anak, melakukan kebiasaan spiritual, menyediakan biaya bagi anak dan memfasilitasi role learning bagi anggota keluarga.
c.    Keluarga dengan anak pra sekolah
Tugas perkembangannya adalah menyesuaikan pada kebutuhan pada anak pra sekolah (sesuai dengan tumbuh kembang, proses belajar dan kontak sosial) dan merencanakan kelahiran berikutnya.
d.   Keluarga dengan anak usia sekolah (6-13 th)
Tugas keluarga adalah mendorong mencapai pengembangan daya intelektual, menyediakan peralatan untuk aktivitas anak.


e.    Keluarga dengan anak remaja (13-20 th)
Tugas perkembangan keluarga memelihara komunikasi tetap terbuka dan pengembangan terhadap anak remaja.
f.     Keluarga dengan anak dewasa (anak I meninggalkan rumah)
Tugas perkembangan keluarga mempersiapkan anak untuk hidup mandiri dan menerima kepergian anaknya, menata kembali fasilitas dan sumber yang ada dalam keluarga, berperan sebagai suami istri, kakek nenek.
g.    Keluarga usia pertengahan (Midle age family)
Tugas keluarga adalah mempersiapkan masa tua atau pensiun dan mempersiapkan aktivitas guna mengisi waktu luang yang lebih banyak.
h.    Keluarga lanjut usia.
Tugas perkembangan keluarga menyesuaikan terhadap masa pensiun dengan merubah cara hidup serta menerima kematian pasangan, kawan dan mempersiapkan kematian.

B.  Tanggung Jawab Perawat
1.    Memberikan pelayanan secara langsung (individu, keluarga dan kelompok).
2.    Mendokumentasikan asuhan keperawatan yang telah dilakukan.
3.    Melakukan koordinasi antar pelayanan dan management kasus.
4.    Menentukan frekwensi dan lama perawatan.
5.    Sebagai penasehat dan pelindung bagi klien.
C.  Asuhan Keperawatan Keluarga
1.    Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal bagi perawat untuk mengumpulkan data guna menyusun suatu masalah keperawatan yang dihadapi oleh keluarga. adapun hal-hal yang dikaji adalah: data umum, riwayat dan tahap perkembangan keluarga, pengkajian lingkungan, struktur keluarga, fungsi keluarga sesuai dengan 5 tugas menurut Friedman, stress dan koping keluarga, pemeriksaan fisik pada semua anggota keluarga serta harapan keluarga terhadap petugas kesehatan.
2.    Perumusan diagnosa keperawatan keluarga
Diagnosa keperawatan keluarga dapat dibagi menjadi 3 tipe diagnosa:
a.    Actual: dari data pengkajian didapatkan masalah atau gangguan kesehatan yang sudah terjadi.
b.    Resiko: data-data yang didapat menunjukkan adanya resiko terjadinya masalah kesehatan, namun masalah kesehatan belum terjadi.
c.    Potensial (keadaan sejahtera/ wellness): adalah suatu diagnosa yang diangkat setelah data yang dikumpulkan menunjang ke arah peningkatan kesehatan keluarga.
3.    Perencanaan perawatan keluarga
Rencana keperawatan disusun berdasarkan masalah yang dihadapi oleh keluarga serta potensi yang dimiliki oleh keluarga yang terdiri dari tujuan umum dan khusus, kriteria dan standart serta intervensi yang menunjang pencapaian tujuan khusus yang telah disusun.
4.    Tahap tindakan keperawatan keluarga
Tindakan keperawatan keluarga berorientasi pada 5 tugas kesehatan keluarga menurut Friedman yaitu: mengenal masalah kesehatan, mengambil keputusan sesuai dengan masalah, melakukan perawatan pada anggota keluarga, memodifikasi lingkungan dan memanfaatkan fasilitas kesehatan yang ada.
5.    Evaluasi
Evaluasi dilakukan dengan 2 tahap yaitu formatif dan sumatif. Adapun evaluasi mengacu pada standart yang telah disusun untuk mencapai tujuan khusus yang telah ditentukan. 

http://firwanintianur93.blogspot.com/2013/01/asuhan-keperawatan-keluarga.html