BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Informed consent adalah suatu proses yang menunjukkan
komunikasi yang efektif antara dokter dengan pasien, dan bertemunya pemikiran tentang apa yang
akan dan apa yang tidak akan dilakukan terhadap pasien. Informed consent
dilihat dari aspek hukum bukanlah sebagai
perjanjian antara dua pihak, melainkan lebih ke arah persetujuan sepihak atas
layanan yang ditawarkan pihak lain. Atau Informed Consent adalah
persetujuan tindakan kedokteran yang diberikan oleh pasien atau keluarga
terdekatnya setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan
kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut. Tujuan Informed
Consent adalah memberikan perlindungan kepada pasien serta memberi perlindungan
hukum kepada dokter terhadap suatu kegagalan dan bersifat negative.
Definisi
operasionalnya adalah suatu pernyataan sepihak dari orang yang berhak (yaitu
pasien, keluarga atau walinya) yang isinya berupa izin atau persetujuan kepada
dokter untuk melakukan tindakan medik sesudah orang yang berhak tersebut diberi
informasi secukupnya
Menurut
PerMenKes no 290/MenKes/Per/III/2008 dan UU no 29 th 2004 Pasal 45 serta Manual
Persetujuan Tindakan Kedokteran KKI tahun 2008. maka Informed Consent adalah
persetujuan tindakan kedokteran yang diberikan oleh pasien atau keluarga
terdekatnya setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan
kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut.
Dalam
hubungan hukum, pelaksana dan pengguna jasa tindakan medis (dokter, dan pasien)
bertindak sebagai “subyek hukum ” yakni orang yang mempunyai hak dan kewajiban,
sedangkan “jasa tindakan medis” sebagai “obyek hukum” yakni sesuatu yang
bernilai dan bermanfaat bagi orang sebagai subyek hukum, dan akan terjadi
perbuatan hukum yaitu perbuatan yang akibatnya diatur oleh hukum, baik yang
dilakukan satu pihak saja maupun oleh dua pihak.
Dalam
masalah “informed consent” dokter sebagai pelaksana jasa tindakan medis,
disamping terikat oleh KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) bagi dokter,
juga tetap tidak dapat melepaskan diri dari ketentuan-ketentuan hukun perdata,
hukum pidana maupun hukum administrasi, sepanjang hal itu dapat diterapkan.
Untuk
itu,Contoh sebagai calon dokter gigi, perlu untuk mengetahui tentang
aspek hukum informed consent. Selain itu perlu pula mengetahui isi dari
informed consent serta format informed consent yang sah secara hukum.
1.2.
Tujuan
Tujuan dari dibuatnya makalah ini adalah agar
mahasiswa dapat memahami dan mengetahui tentang informed consent. Serta mampu
untuk menerapkan informed consent dan dapat mengetahui sanksi – sanksi atas
pelanggaran yang akan dilakukan.
BAB II
ISI
2.1 Pengertian
Secara harfiah Informed
Consent merupakan padanan kata dari: Informed artinya telah
diberikan penjelasan/informasi ,dan Consent artinya persetetujuan
yang diberikan kepada seseorang untuk berbuat sesuatu.
“Informed Consent” terdiri dari dua kata yaitu “informed”
yang berarti telah mendapat penjelasan atau keterangan (informasi), dan
“consent” yang berarti persetujuan atau memberi izin. Jadi “informed consent”
mengandung pengertian suatu persetujuan yang diberikan setelah mendapat
informasi. Dengan demikian “informed consent” dapat didefinisikan sebagai
persetujuan yang diberikan oleh pasien dan atau keluarganya atas dasar
penjelasan mengenai tindakan medis yang akan dilakukan terhadap dirinya serta
resiko yang berkaitan dengannya.
Menurut D. Veronika Komalawati, SH , “informed consent”
dirumuskan sebagai “suatu kesepakatan/persetujuan pasien atas upaya medis yang
akan dilakukan dokter terhadap dirinya setelah memperoleh informasi dari dokter
mengenai upaya medis yang dapat dilakukan untuk menolong dirinya disertai
informasi mengenai segala resiko yang mungkin terjadi.
Definisi operasionalnya adalah suatu pernyataan sepihak
dari orang yang berhak (yaitu pasien, keluarga atau walinya) yang isinya berupa
izin atau persetujuan kepada dokter untuk melakukan tindakan medik sesudah
orang yang berhak tersebut diberi informasi secukupnya.
Persetujuan tindakan adalah
kesepakatan yang dibuat seorang klien untuk menerima rangkaian terapi atau
prosedur setelah informasi yang lengkap, termasuk risiko terapi dan fakta yang
berkaitan dengan terapi tersebut, telah diberikan oleh dokter. Oleh karena itu,
persetujuan tindakan adalah pertukaran antara klien dan dokter. Biasanya, klien
menandatangani formulir yang disediakan oleh institusi. Formulir itu adalah
suatu catatan mengenai persetujuan tindakan, bukan persetujuan tindakan itu
sendiri.
Mendapatkan
persetujuan tindakan untuk terapi medis dan bedah spesifik adalah tanggung
jawab dokter. Meskipun tanggung jawab ini didelegasikan kepada perawat di
beberapa institusi dn tidak terdapat hukum yang melarang perawat untuk menjadi
bagian dalam proses pemberian informasi tersebut, praktik tersebut sangat tidak
dianjurkan (Aiken dan Catalano, 1994, hlm. 104).
2.2 Tujuan
Informed Consent
Di
Indonesia informed Consent tentu memiliki maksud tujuan diatur terlihat
dari arti pentinganya perlindungan terhadap hak-hak azasi pasien
untuk menentukan nasib sendiri (hak informasi tentang penyakitnya, hak untuk
menerima/menolak rencana perawatan). Juga merupakan suatu tindakan konkrit atas
penghormatan kalangan kesehatan terhadap hak perorangan. mengingat perlu dan
pentinya pembatasan Otorisasi Tenaga kesehatan terhadap pasien juga merupakan
hal yang bisa dilepaskan.
Dalam hubungan antara
pelaksana (dokter) dengan pengguna jasa tindakan medis (pasien), maka
pelaksanaan “informed consent”, bertujuan : Melindungi pengguna jasa tindakan
medis (pasien) secara hukum dari segala tindakan medis yang dilakukan tanpa
sepengetahuannya, maupun tindakan pelaksana jasa tindakan medis yang
sewenang-wenang, tindakan malpraktek yang bertentangan dengan hak asasi pasien
dan standar profesi medis, serta penyalahgunaan alat canggih yang memerlukan
biaya tinggi atau “over utilization” yang sebenarnya tidak perlu dan tidak ada
alasan medisnya;
Memberikan perlindungan
hukum terhadap pelaksana tindakan medis dari tuntutan-tuntutan pihak pasien
yang tidak wajar, serta akibat tindakan medis yang tak terduga dan bersifat
negatif, misalnya terhadap “risk of treatment” yang tak mungkin dihindarkan
walaupun dokter telah bertindak hati-hati dan teliti serta sesuai dengan
standar profesi medik. Sepanjang hal itu terjadi dalam batas-batas tertentu, maka
tidak dapat dipersalahkan, kecuali jika melakukan kesalahan besar karena
kelalaian (negligence) atau karena ketidaktahuan (ignorancy) yang sebenarnya
tidak akan dilakukan demikian oleh teman sejawat lainnya.
Perlunya dimintakan
informed consent dari pasien karena informed consent mempunyai beberapa fungsi
sebagai berikut :
1. Penghormatan
terhadap harkat dan martabat pasien selaku manusia
2. promosi
terhadap hak untuk menentukan nasibnya sendiri
3. untuk
mendorong dokter melakukan kehati-hatian dalam mengobati pasien
4. menghindari
penipuan dan misleading oleh dokter
5. mendorong
diambil keputusan yang lebih rasional
6. mendorong
keterlibatan publik dalam masalah kedokteran dan kesehatan
7. sebagai
suatu proses edukasi masyarakat dalam bidang kedokteran dan kesehatan.
Pada prinsipnya iformed consent deberikan di setiap pengobatan oleh dokter. Akan tetapi, urgensi dari penerapan prinsip informed consent sangat terasa dalam kasus-kasus sebagai berikut :
Pada prinsipnya iformed consent deberikan di setiap pengobatan oleh dokter. Akan tetapi, urgensi dari penerapan prinsip informed consent sangat terasa dalam kasus-kasus sebagai berikut :
1.
dalam kasus-kasus yang menyangkut dengan
pembedahan/operasi
2.
dalam kasus-kasus yang menyangkut dengan
pengobatan yang memakai teknologi baru yang sepenuhnya belum dpahami efek
sampingnya.
3.
dalam kasus-kasus yang memakai terapi atau
obat yang kemungkinan banyak efek samping, seperti terapi dengan sinar laser,
dll.
4.
dalam kasus-kasus penolakan pengobatan oleh
klien
5.
dalam kasus-kasus di mana di samping
mengobati, dokter juga melakukan riset dan eksperimen dengan berobjekan pasien.
Tujuan dari informed consent adalah agar
pasien mendapat informasi yang cukup untuk dapat mengambil keputusan atas
terapi yang akan dilaksanakan. Informed consent juga berarti mengambil
keputusan bersama. Hak pasien untuk menentukan nasibnya dapat terpenuhi dengan
sempurna apabila pasien telah menerima semua informasi yang ia perlukan
sehingga ia dapat mengambil keputusan yang tepat. Kekecualian dapat dibuat
apabila informasi yang diberikan dapat menyebabkan guncangan psikis pada
pasien.
Dokter harus menyadari bahwa informed consent memiliki dasar moral dan etik yang kuat. Menurut American College of Physicians’ Ethics Manual, pasien harus mendapat informasi dan mengerti tentang kondisinya sebelum mengambil keputusan. Berbeda dengan teori terdahulu yang memandang tidak adanya informed consent menurut hukum penganiayaan, kini hal ini dianggap sebagai kelalaian. Informasi yang diberikan harus lengkap, tidak hanya berupa jawaban atas pertanyaan pasien.
Dokter harus menyadari bahwa informed consent memiliki dasar moral dan etik yang kuat. Menurut American College of Physicians’ Ethics Manual, pasien harus mendapat informasi dan mengerti tentang kondisinya sebelum mengambil keputusan. Berbeda dengan teori terdahulu yang memandang tidak adanya informed consent menurut hukum penganiayaan, kini hal ini dianggap sebagai kelalaian. Informasi yang diberikan harus lengkap, tidak hanya berupa jawaban atas pertanyaan pasien.
2.3 Bentuk-Bentuk
Informed Consent
Ada dua bentuk persetujuan tindak medik yang sesuai dengan peraturan
berlaku antara lain:
1. Tersirat ( Implied Consent) dimana persetujuan tindakan medik
dianggap telah diberikan kepada pihak pasien Persetujuan Tersirat ( Implied
Consent) Tanpa pernyataan yang tegas, hanya dengan isyarat yang diterima
tenaga kesehatan berdasarkan sikap dan tindakan pasien. Dalam kondisi normal :
umumnya merupakan tindakan yang sudah diketahui umum/biasa. Dalam kondisi
darurat : pasien tak mungkin diajak komunikasi, keluarga tak ditempat (
Permenkes 585/1989, Pasal 11) merupakan Presumed consent.
2. Dinyatakan ( Expressed Consent) merupakan persetujuan dinyatakan dengan
lisan atau tulisan. Pada tindakan yang melebihi prosedur yang umum /biasa
dilakukan ; pemeriksaan genital / rectal atau lisan. Tindakan invasif/
berisiko; pembedahan untuk terapi/diagnosis dengan tertulis
Secara umum bentuk
persetujuan yang diberikan pengguna jasa tindakan medis (pasien) kepada pihak
pelaksana jasa tindakan medis (dokter) untuk melakukan tindakan medis dapat
dibedakan menjadi tiga bentuk, yaitu :
1. Persetujuan
Tertulis, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang mengandung resiko
besar, sebagaimana ditegaskan dalam PerMenKes No. 585/Men.Kes/Per/IX/1989 Pasal
3 ayat (1) dan SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 butir 3, yaitu intinya setiap
tindakan medis yang mengandung resiko cukup besar, mengharuskan adanya
persetujuan tertulis, setelah sebelumnya pihak pasien memperoleh informasi yang
adekuat tentang perlunya tindakan medis serta resiko yang berkaitan dengannya
(telah terjadi informed consent);
2. Persetujuan
Lisan, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang bersifat non-invasif dan
tidak mengandung resiko tinggi, yang diberikan oleh pihak pasien;
3. Persetujuan
dengan isyarat, dilakukan pasien melalui isyarat, misalnya pasien yang akan
disuntik atau diperiksa tekanan darahnya, langsung menyodorkan lengannya
sebagai tanda menyetujui tindakan yang akan dilakukan terhadap dirinya.
2.4 Unsur
Informed Consent
Suatu informed consent baru
sah diberikan oleh pasien jika memenuhi minimal 3 (tiga) unsure sebagai berikut
:
1. Keterbukaan
informasi yang cukup diberikan oleh dokter
2. Kompetensi
pasien dalam memberikan persetujuan
3. Kesukarelaan
(tanpa paksaan atau tekanan) dalam memberikan persetujuan.
2.5 Aspek
Hukum Informed Consent
Dalam
hubungan hukum, pelaksana dan pengguna jasa tindakan medis (dokter, dan pasien)
bertindak sebagai “subyek hukum ” yakni orang yang mempunyai hak dan kewajiban,
sedangkan “jasa tindakan medis” sebagai “obyek hukum” yakni sesuatu yang
bernilai dan bermanfaat bagi orang sebagai subyek hukum, dan akan terjadi
perbuatan hukum yaitu perbuatan yang akibatnya diatur oleh hukum, baik yang
dilakukan satu pihak saja maupun oleh dua pihak.
Dalam
masalah “informed consent” dokter sebagai pelaksana jasa tindakan medis,
disamping terikat oleh KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) bagi dokter,
juga tetap tidak dapat melepaskan diri dari ketentuan-ketentuan hukun perdata,
hukum pidana maupun hukum administrasi, sepanjang hal itu dapat diterapkan.
Pada pelaksanaan tindakan medis, masalah etik dan hukum perdata, tolok ukur yang digunakan adalah “kesalahan kecil” (culpa levis), sehingga jika terjadi kesalahan kecil dalam tindakan medis yang merugikan pasien, maka sudah dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum. Hal ini disebabkan pada hukum perdata secara umum berlaku pada “barang siapa merugikan orang lain harus memberikan ganti rugi”.
Sedangkan pada masalah hukum pidana, tolak ukur yang dipergunakan adalah “kesalahan berat” (culpa lata). Oleh karena itu, adanya kesalahan kecil (ringan) pada pelaksanaan tindakan medis belum dapat dipakai sebagai tolak ukur untuk menjatuhkan sanksi pidana.
Aspek
Hukum Perdata, suatu tindakan medis yang dilakukan oleh pelaksana jasa tindakan
medis (dokter) tanpa adanya persetujuan dari pihak pengguna jasa tindakan medis
(pasien), sedangkan pasien dalam keadaan sadar penuh dan mampu memberikan persetujuan,
maka dokter sebagai pelaksana tindakan medis dapat dipersalahkan dan digugat
telah melakukan suatu perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) berdasarkan
Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer). Hal ini karena pasien
mempunyai hak atas tubuhnya, sehingga dokter dan harus menghormatinya;
Aspek
Hukum Pidana, “informed consent” mutlak harus dipenuhi dengan adanya pasal 351
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penganiayaan. Suatu tindakan
invasive (misalnya pembedahan, tindakan radiology invasive) yang dilakukan
pelaksana jasa tindakan medis tanpa adanya izin dari pihak pasien, maka
pelaksana jasa tindakan medis dapat dituntut telah melakukan tindak pidana
penganiayaan yaitu telah melakukan pelanggaran terhadap Pasal 351 KUHP.
Sebagai
salah satu pelaksana jasa tindakan medis dokter harus menyadari bahwa “informed
consent” benar-benar dapat menjamin terlaksananya hubungan hukum antara pihak
pasien dengan dokter, atas dasar saling memenuhi hak dan kewajiban
masing-masing pihak yang seimbang dan dapat dipertanggungjawabkan. Masih banyak
seluk beluk dari informed consent ini sifatnya relative, misalnya tidak mudah
untuk menentukan apakah suatu inforamsi sudah atau belum cukup diberikan oleh
dokter. Hal tersebut sulit untuk ditetapkan secara pasti dan dasar
teoritis-yuridisnya juga belum mantap, sehingga diperlukan pengkajian yang
lebih mendalam lagi terhadap masalah hukum yang berkenaan dengan informed
consent ini.
Adanya kewajiban dari pihak pemberi informasi
dalam menyampaikan sebuah persetujuan tindak medik yang akan dilakukan atau
setelah dilakukan. Tentunya tenaga kesehatan harus menyampaikan informasi atau
penjelasan kepada pasien/ keluarga diminta atau tidak diminta. Informasi
tersebut: harus dengan jelas yang berkaitan dengan penyakit pasien ; prosedur
diagnostik, tindakan/terapi, alternatif terapi dan pembiayaan
serta resiko yang mungkin timbul dari proses tersebut dan harus dijelaskan
selengkap-lengkapnya, kecuali dipandang merugikan pasien atau pasien menolak
untuk diberikan informasi. Informasi itu juga sewajarnya diberikan oleh
tenaga kesehatan yang melakukan tindakan atau tenaga kesehatan lain yang diberi
wewenang, dan bila dipandang perlu informasi bisa diberikan pada pihak keluarga
pasien
Persetujuan dari pasien dari merupakan hal yang harus sangat
diperhatikan, pasien tepat tidak dibawah tekanan hubungan tenaga – pasien.
Sebelum dan sesudahnya telah mendapatkan informasi lengkap, dan pihak yang
membuat persetujuan adalah mereka pasien dewasa
(lebih dari 21 tahun atau
sudah menikah ) atau dapat diwakilkan pihak Keluarga/ Wali/ induk semang.
Syarat sahnya persetujuan tindakan medik yang dilakukan oleh
tenaga medis terhadap pasien, sejatinya pasien diberikan secara bebas,
diberikan oleh orang yang sanggup membuat perjanjian.Telah mendapatkan
penjelasan dan memahaminya, Mengenai susuatu hal yang khas dari persetujuan
ini, tindakan dilakukan pada situasi yang sama.
Tetapi penolakan (informed refusal) bisa juga dilakukan oleh pasien,
karena merupakan hak pasien/ keluarga pasien dan tiada satupun tenaga kesehatan
yang bisa memaksa sekalipun berbahaya bagi pasien maka sebaiknya pihak rumah
sakit/ dokter meminta pasien/ kel menandatangani surat penolakan terhadap
anjuran tindakan medik tersebut di lembaran khusus.
2.6 Sanksi Hukum
terhadap
Informed Consent
1.
Sanksi pidana
Apabila seorang
tenaga kesehatan menorehkan benda tajam tanpa persetujuan pasien dipersamakan
dengan adanya penganiayaan yang dapat dijerat Pasal 351 KUHP
2.
Sanksi perdata
Tenaga
kesehatan atau sarana kesehatan yang mengakibatkan kerugian dapat digugat
dengan 1365, 1367, 1370, 1371 KUHPer
3.
Sanksi administratif
Pasal 13
Pertindik mengatur bahwa :
Terhadap dokter
yang melakukan tindakan medis tanpa persetujuan pasien atau keluarganya dapat
dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan izin praktik.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Di Indonesia perkembangan “informed
consent” secara yuridis formal, ditandai dengan munculnya pernyataan Ikatan
Dokter Indonesia (IDI) tentang “informed consent” melalui SK PB-IDI No.
319/PB/A.4/88 pada tahun 1988. Kemudian dipertegas lagi dengan PerMenKes No.
585 tahun 1989 tentang “Persetujuan Tindakan Medik atau Informed Consent”.
Serta dipertegas oleh Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004.
informed Consent yang diperoleh
dengan tata cara yang tidak benar tidak dapat di anggap sebagai penemu hak
otonomi pasien, sehingga tindakan tersebut merupakan tindakan melanggar hukum namun
demikian pelaksanaan informed Consennt di indonesia hanya dilakukan dengan
mengindahkan nilai-nilai dalam budaya setempat yang sangat bervariasi.
3.2 Saran
Dalam Hal ini semoga dapat membatu
pengetahuan dan menambah ilmu pengetahuan kita dalam kesehatan , dan yang
terpenting adalah dalam hal ini Pemerintah Bertanggung jawab merencanakan ,
mengatur, menyelenggarakan dan membina Serta mengawasi penyelenggaraan upaya
kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masayarakat. Juga sumber daya di
bidang kesehatan yang adil dan merata bagi seluruh masyarakat untuk memperoleh
derajat kesehatan yang setinggi-tingginya, terhadap Informed
Consent agar kelak
tidak terjadi perselisihan .
DAFTAR PUSTAKA
http://medizton.wordpress.com/2011/06/14/informed-consent-di-indonesia/
diakses 19 Januari 2013 pukul 10:21 PM
http://irwandykapalawi.wordpress.com/2007/11/01/mengenal-informed-consent/
diakses 19 Januari 2013 pukul 10:21 PM
http://yusufalamromadhon.blogspot.com/2008/01/informed-consent.html
diakses 19 Januari 2013 pukul 10:24 PM
http://tutordelapan2009.blogspot.com/2009/12/isu-keperawatan.html
diakses 19 Januari 2013 pukul 10:27 PM
http://firwanintianur93.blogspot.com/2013/01/makalah-informed-consent.html
http://firwanintianur93.blogspot.com/2013/01/makalah-informed-consent.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar